Lewati kelokan tajam di Gumitir, kau akan mudah menemukan warung-warung yang berjejer di sepanjang jalan, atau gelandangan yang menengadahkan tangan. Di sini, mereka menyusu pada getah rupiah tanpa membedakan lansia, pemuda, ataukah perempuan yang menggendong anak balitanya. Pada sejengkal matahari di atas Raung itulah, aku mendapatimu duduk di tepi tebing curam. Sembari bersandar pada pohon, kau tampak mengatupkan mata sebentar sebelum akhirnya terjaga ketika seorang perempuan paruh baya berteriak memanggilmu.
Perempuan yang kau sebut embu’ itu perlahan-lahan menyinggahi tubuhmu dengan amarah. Kata-katanya tak hanya membuatku gelisah, melainkan meninggalkan jejak basah dalam rongga dada. Ia menghentakmu melalui permintaan yang menurutku sangat tak kau inginkan. Entah apa, kau menurut dan menghampiri kami berlinang air mata. Apa karena ia yang melahirkanmu sampai-sampai kau wajib berbakti kendati menyuruhmu menjadi peminta-minta? Padahal kau dan aku sama-sama memiliki ibu─yang padanya surga bisa disesap melalui hangat kebaikan.
Sungguh, kilau bening mata cokelatmu menyimpan pengembaraan panjang. Tanpa menyebut kata rupiah, wajah kumal serta pakaianmu yang sobek di bagian lengan, dan itu tak sanggup menghalau dinginnya Gumitir adalah caramu menyembahnya. Dari jarak yang cukup dekat ini, keberadaanmu seakan-akan mencekik atas apa yang aku miliki. Aku tak sanggup menjangkau cerita yang barangkali kau simpan sendiri. Ibuku yang selalu tak bisa melihat adegan semacam ini mengeluarkan beberapa ribu. Kau mengangguk berterima kasih lalu memberikannya pada ibumu, dan kau kembali bersandar pada sebatang pohon di tepi jurang.
Aku tak tahu, Arsana─aku tahu namamu setelah embu’mu kembali berteriak dan memintamu duduk bersila di pinggir jalan, tak jauh dari keberadaanku yang sekarang─apakah anak sepertimu harus membangun semesta dengan lambaian tangan pada setiap kendaraan, dan apabila salah seorang di antara mereka melemparkan gemerincing logam, kau cepat-cepat memburunya ke tengah jalan tanpa peduli laju kendaraan di sekitar. Kau tahu, tanganmu yang penuh debu itu berkejaran dengan doa yang kuucap pada punggung bebatuan; kau tak mau mengenalku, Arsana?
***
Aku tak pernah mendapati jiwaku sekarat seperti sekarang sebelum kedua mataku bersitatap dengan setangkai mawar yang aromanya menjalar sampai surga. Mata itu, wangi parfum yang menguar dari setiap lekuk tubuh, seakan-akan menyeretku ke sebuah ruang yang diapit batu besar lalu aku meraung macam orang pesakitan. Meski embu’ kerap mengapit lengan dan memaksaku duduk di atas bebatuan sembari tangan menengadah ke bibir jalan, tak pernah suaraku separau itu ketika berada di depanmu. Aku tak tahu, mengapa air mataku jatuh satu-satu padahal aku tahan bulir-bulir agar tak sampai menetes di hadapanmu. Bukan malu musabab tanganku yang menengadah. Bukan. Bukan itu. Aku hanya malu sebab kedua mataku harusnya tak boleh menatap rona wajah beliamu. Itu adalah larangan yang terbentang sepanjang nyawa.
Bagi embu’, rupiah adalah nyala api keluarga yang mesti dihidupi setiap hari. Bila terang api itu meredup, ia tak segan-segan membakar sumbu yakni dengan memaksaku duduk di sekitar Watu Gudang─puncak Gumitir yang berupa bongkahan batu besar, tapi koloni meminta pribumi memecahnya memakai alat manual demi pembuatan jalan yang kau lewati tiap pekan.
Aku hafal, tiap Senin pagi, kau bersama ibumu turun dari kendaraan, lalu berhenti di sekitar Watu Gudang demi menikmati kabut yang turun mendekap. Diam-diam aku menyelipkan pandang disertai degup jantung yang berderap-derap. Kau menimpalkan senyum, dan aku tak ingin membalasnya. Aku tahu, ketika ibumu memberiku beberapa ribu, kau tak mengalihkan pandang sejengkal pun. Kedua matamu seolah-olah mengikuti apa yang aku lakukan setelahnya. Dan itu sangat menyiksa sebab diam-diam kedua mataku juga mengikuti arah kendaraanmu yang melaju ke arah Jember, lalu menghilang di kelokan selanjutnya. Menyisakan bayangan yang menarikku ke dalam sebuah lubang tak bernama, dan aku selalu bertanya-tanya, mengapa lubang itu begitu menyiksa padahal ia tak mengisap darah atau meretakkan tulang rusuk, tapi seluruh tulang-belulang tubuhku seakan melepuh.
Ah, mawar hitam. Aku tahu kau melambaikan tangan sebelum akhirnya rimbun pepohonan menetaskannya jadi buih udara.
***
Mulanya aku melempar takut musabab ibu selalu mengulang-ulang cerita, kalau di sepanjang jalan yang kami lewati ini, banyak ruh yang terpisah dari tubuh dengan beragam sebab. Ada yang karena kecelakaan. Ada pula yang dilempar ke jurang. Ketika aku bertanya, mengapa hal semacam itu terjadi, ibu berkata kalau masa kompeni adalah asal mula segala derita. Karena itu, sebelum ibu menghidupkan mesin kendaraan, ia selalu mengirim doa pada setiap yang meninggal di jalan. Itu semata-mata memohon pada Tuhan agar kami senantiasa dilindungi, mengingat Alas Gumitir menyimpan banyak misteri. Salah satunya adalah engkau, Arsana.
Kau tampak dingin. Seperti tak ingin dikenal padahal aku bisa menerka dari bola matamu yang memancarkan kehangatan. Apa aku tampak menakutkan, Arsana? Atau tebing-tebing yang memanjang itu jauh lebih memikat, sampai-sampai kau selalu mengalihkan pandang ketika aku dan ibu turun dari kendaraan menikmati kabut yang dinginnya mengilukan tulang? Mungkin kau sengaja melakukannya. Sebab pada adegan selanjutnya, kau diteriaki embu’mu yang kini beralih di kelokan bawah untuk menghampiri kami yang bersua dengan udara.
Sesaat hening ketika kau melangkah. Aku bisa menangkap gerak bimbang ketika tanganmu hendak menengadah, tapi ibuku mesti menerima panggilan. Aku bahagia. Baru kali ini aku bisa menatapmu lama-lama. Kau masih tampak merundukkan muka bahkan ketika aku mengulurkan selembar rupiah tanpa diminta.
“Boleh aku mengenalmu, Arsana?”
Kau tampak terkejut. Tak menyangka kalau aku mengetahui namamu. Aku kira kau bakal mengangguk, tetapi kau menggelengkan kepala tanpa ingin menerima uluran rupiah. Namun, aku berhasil menahanmu yang mendadak ingin berlalu.
“Uang ini bukan untuk membayar pertemanan. Kau bisa mengambilnya, dan memberikannya pada ibumu tanpa kita berteman.”
Kau ragu-ragu. Tapi aku kembali mengulang permintaan kalau embu’mu melihat anaknya yang menolak pemberian.
“Di dunia ini kita tidak bisa berkawan.”
“Mengapa?” kataku takut salah bicara.
“Sebab orang sepertiku lancang memiliki ingatan selain uluran tangan orang.”
“Kau sungguh tak ingin berteman denganku?”
Kau mengangguk. Sesaat aku termangu. Selebihnya aku tersenyum sebab wajahmu penuh ragu ketika berkata begitu. Aku tahu kau sedang berbohong.
***
Terpaksa aku menyuratkan keinginanku untuk mengenalmu lewat anggukan dusta. Padahal aku ingin memburu senyummu sampai batas semesta, tetapi aku memutuskan untuk meraba kapan kita bisa bersitatap lebih lama lagi. Menerka-nerka apakah kau dan ibumu pergi ke Banyuwangi, dan ketika Senin pagi hendak kembali ke Jember, kau melintas dan berhenti di puncak Gumitir, lalu aku menelanjangimu dengan jarum waktu agar kau terus-menerus rindu.
Ah, bukan. Sesungguhnya aku yang merindu dan itu kusampaikan pada batu-batu. Pada merekalah aku tanam tangisan berundak, berisi riwayat setapak tangan yang tak pernah mengikuti alam kecuali matahari tiba di pangkuan malam. Rasa-rasanya, sejak menjadi air mani, embu’ mengajariku bagaimana memasang tampang melas yang sekiranya memicu rasa welas pada setiap orang yang melintas.
Umpama Tuhan mempertemukan kita di lain zaman, aku tak mau kita bertemu melalui keadaan yang begini runyam. Bayangkan, embu’ pernah menjambak rambutku musabab aku tak menengadahkan tangan, dan ia menyambungnya dengan amarah pekat. Katanya, ia yang perempuan dewasa sanggup mengumpulkan banyak uang, harusnya aku yang masih kanak-kanak sanggup memenuhi kebutuhan pangan berhari-hari. Bisaku hanya terisak. Pada tebing curam yang tumbuh pohon-pohon menjulang, dan pada batu-batu yang jerit tangisku berubah menjadi abu, aku temukan mata air yang mengalir dan aku menyebutnya sari bunga mawar.
Aroma bunga itu menjalar pada selembar uang berwarna merah ranum yang kau berikan untukku. Padanya aku hirup suara kalbu, yang mana dadaku kian sesak mengingatmu. Astaga, mengapa aku tak mampu meredam perasaan yang aku tak tahu menyebutnya sebagai apa?
***
Pagi-pagi ketika udara dingin mulai menyergap Kalibaru dan kendaraan mulai memasuki kelokan Gumitir dari arah Banyuwangi, aku tak sabar untuk singgah di puncak sana. Apalagi kendaraan baru saja melewati kelokan Patung Gandrung. Dadaku kian berdebar. Ukuran patung yang besar dan letaknya strategis, berhasil memikat banyak pelintas untuk berhenti di dekat patung dan memanfaatkannya dengan berfoto ria. Konon katanya, tangan patung itu berubah-ubah setiap waktu.
Kendaraan ibu kian melambat. Ibu kian mengurangi kecepatan sebab di Gumitir ini terdapat banyak tikungan buta yang menyebabkan kita tidak bisa melihat kendaraan lain dari arah berlawanan karena tertutupi tebing gunung. Aku kian cemas. Aku tak mempersiapkan kalimat apa yang ingin aku ucapkan padamu. Aku hanya merasa degup jantung kian terbatas. Semakin kendaraan menukik ke atas, aku makin waswas. Mendapati jarak yang kian dekat, suaraku kian tersekat. Ah, Arsana. Sungguh kau tak ingin mengenalku?
Aku awali puncak Gumitir penuh ragu. Mendadak aku menapaki kabut yang menelungkup dengan satu pertanyaan; mengapa aku tak dapati dirimu duduk di tepi jalan, tempat biasa menepikan kendaraan? Aku juga tak melihat embu’mu yang berdiri di tikungan sebelumnya. Aku lemparkan pandang ke segala sudut pepohonan, tak aku dapati dirimu jua. Bahkan ketika ibuku berkata telah selesai melepas penat, dan ia akan meneruskan perjalanan, aku masih belum percaya. Mungkinkah aku terlalu dini datang ke mari?
Ibu yang berhasil kurajuk sebab aku ingin memberikan uang pada seorang lelaki tua, mengangguk setuju. Padahal ini caraku untuk mencarimu lebih jauh barangkali ada petunjuk yang bisa memberikan kabar akan keberadaanmu. Namun, lelaki tua itu tak berkata apa. Ia hanya memungut uluran tanganku tanpa berucap sepatah kata, tanpa menjawab apakah ia melihatmu atau tidak. Aku tak putus asa. Aku ulang kembali pertanyaan yang sama dengan menyelipkan bilangan rupiah yang lebih besar.
Lelaki itu sepertinya merasa kasihan. Ia menaruh telunjuk di kedua bibirnya sebagai isyarat agar aku tak cerita pada siapa-siapa. Aku mengangguk mengiyakan, lalu tak lama kemudian telunjuk lelaki tua itu mengarah ke sebuah gundukan tanah yang masih belum kering di samping salah satu warung. Di sanalah kau tinggal, Arsana. Di sanalah kau dikuburkan musabab kau ketahuan menyimpan selembar uang berwarna merah mawar, dan embu’mu kehilangan kesabaran. Kau benar, Arsana. Mungkin di dunia ini kita tidak bisa mengenal. Mungkin di alam berikutnya kita bisa berteman dan saling mencintai.

Nurillah Achmad. Menyantri di TMI Putri Al-Amien Prenduan, Sumenep sekaligus alumni Fakultas Hukum Universitas Jember. Emerging Writer Ubud Writers & Readers Festival 2019. Menerbitkan kumpulan cerpen, Cara Bodoh Menertawakan Tuhan (Buku Inti, 2020). Saat ini tinggal di Jember, Jawa Timur,