Oleh Arung Wardhana Ellhafifie

Kinerja dalam Etika Postmodernisme

Istilah postmodernisme digunakan pertama kali oleh para seniman di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 untuk menyebut gerakan baru  yang membebaskan diri dari orde lama (Kevin O’Donnel: Postmodernisme. Yogyakarta, 2009, hlm. 8). Gerakan ini sebagai tonggak para pemikir di berbagai bidang seperti seni rupa, filsafat, sastra, teater, tari, dan lain sebagainya dalam melihat sebuah peristiwa dengan perspektif lain (terbilang baru). Sebutlah beberapa pemikir postmodernisme seperti seperti Roland Barthes, Sarah Kane, Michael Foucault, Marina Abramovic, Tadeusz Kantor, Heiner Muller, hingga Jacques Derrida di mana pikirannya banyak mempengaruhi kinerja dan etika seniman hari ini.

Di Indonesia pun, perspektif dari banyak tokoh yang mendunia tersebut juga menjadi pijakan kinerja; entah itu mempertanyakan balik pemikirannya, meredefinisi, ataupun mengembangkan pemikirannya yang disesuaikan dengan kontekstual waktu dalam zaman maupun memorik tubuh yang dimiliki setiap seniman. Khususnya di bidang pertunjukan, sebutlah teater sudah banyak melakukan kinerja-kinerja dengan etika postmodernisme, seperti yang dilakukan WS. Rendra, Afrizal Malna, Akhudiat, Rahman Sabur, Yusril Katil, Autar Abdillah, Putu Wijaya hingga Yudi Ahmad Tajudin maupun Iswadi Pratama dengan berbagai macam cara baik dari estetika maupun kinerjanya. Dan yang paling marak belakangan ini dilakukan beberapa pekerja teater yang lahir di tahun 1980-an dan 1990-an seperti Dendi Madiya, Anwari, Bambang Prihadi, Taufik Darwis, Yustiansyah Lesmana, Sohifur Ridho Ilahi, Halilintar Latif, Abi ML, dll. melakukan kinerja postmodernisme secara estetika pastiche, skyzofernia, tish, camp, parodi, dengan berbagai macam cara (entah itu menggunakan media sosial, ataupun film/televisi/screen atau berbagai macam bentuk data yang disebut sebagai teater arsip, atau meminjam istilahnya Lehmann dengan teater sinematrografi, teater film dokumenter, dll.) maupun kinerja kolaborasi interkultural (antar negara) dan intrakultural (antar daerah, pulau/suku dalam satu negara) sebagai etika kerja postmodernisme. Baik itu bekerjasama dengan pelaku seni dari Swiss, Taiwan, Jepang, Korea, Singapura, maupun Flores, Papua, Toraja, Atambua, Barikin, maupun Masalembu.   

Bagi para postmodernis, semua adalah tafsiran, yang dibuat melalui indra konseptual manusia kita. Realitas apa adanya, kebenaran dalam kemurniannya, tidak dapat hadir di depan kita. Itulah keadaan manusia atau keadaan postmodern. Seringkali hal ini dipahami sebagai lengsernya makna itu sendiri yang menghasilkan relativisme yang sangat ekstrem (ibid., hlm. 104). Kutipan ini justru menjadi pemicu bagi saya untuk melihat lebih jauh dan lebar lagi; sejauh mana etika postmodernisme bekerja untuk melahirkan new platform, dan new form yang kiranya sesuai dengan kondisi sosial, rasial, ekonomi, dan politik hari ini. Apakah kinerja-kinerja yang sudah dilakukan dipengaruhi modus-modus atau motif kerja yang paling relevan dengan esensial dan watak kesenian, atau hanya sekadar motif kesewenang-wenangan demi kesejahteraan personal yang dinamakan eksploitasi dalam praktiknya.

Kolaborasi Interkultural (antar negara)

Para komentator kadang mensugestikan bahwa postmodernisme merupakan gerakan sementara, dalam peralihan sebagaimana adanya. Ia ditawarkan oleh perubahan masif di bidang sosial dan teknologi sesudah perang dunia II, dan merupakan pembangunan kembali bukan hanya negara melainkan dunia (Kevin O’Donnel: Postmodernisme. Yogyakarta, 2009, hlm. 144). Membaca teks ini; menurut saya dalam kinerjanya akan sedikit berhubungan dengan proses traumatik dalam rangka penyadaran sekaligus kebangkitan secara personal dalam satu kelompok masyarakat untuk membaca dunia lain, yang akhirnya negeri kita mengirimkan beberapa pekerja seni ke Amerika Serika seperti WS. Rendra, Sardono W. Kusumo, Sal Murigyanto, Wisran Hadi, dan masih banyak lagi. Di mana pengiriman itu pada era 1990-an sudah mulai tidak dilakukan hingga akhirnya pemilik modal Indonesia berinisiatif untuk berkolaborasi dengan cara kerja yang lain. Kinerja interkultural (antar negara) yang dilakukan Bumi Purnati yang dipimpin Restu Imansari Kusumaningrum, yang sudah banyak bekerjasama dengan sutradara dari luar negeri dengan melibatkan pekerja seni di Indonesia. Misalnya  Ong Keng Seng (Singapura), Robert Wilson (Amerika Serikat), dan Tadashi Zusuki (Jepang), yang berbuntut kemunculan narasi-narasi eksploitasi; atau teks ini sengaja digelontorkan supaya kita tidak terlena dalam berkolaborasi interkultural. Atau saya justru tertarik pada teks eksploitasi agar kita diingatkan kinerja yang ideal dalam kolaborasi interkultural tersebut. Setidaknya memiliki platform yang tepat dan jelas dalam proses kinerjanya sehingga saling menguntungkan antara satu dengan lainnya dari beragam perspektif aspek, bukan hanya berdasarkan aspek ekonomi saja.

Sehubungan dengan narasi itu; Bincang Seni Purnati kerja kolaborasi dalam seni pertunjukan yang dimoderatori Bambang Prihadi (lab teater Ciputat), dengan pembicara Seno Joko Suyono (penulis & produser), Dindon WS. (teater kubur), Sri Qadariatin (aktris), beberapa waktu lalu di Kebayoran cukup menyita perhatian saya sebagai bagian dari hasil penelitian dan pengamatan. Seno Joko Suyono menceritakan kembali kolaborasi interkultural yang dimulai dengan King Lear disutradarai Ong Keng Seng melibatkan pemain dari Cina, Jepang, dan Indonesia, di mana Boy Sakti ditunjuk sebagai koreografer, Rahayu Supanggah sebagai komposernya dengan menggunakan estetika postmodern (kolase, montase, layaknya perupa atau instalasi yang dikemukan Levi-Strauss) dengan mempertahankan kulturnya tanpa mengubah  dari teater tradisinya masing-masing, sama seperti yang dilakukan Robert Wilson. Sebenarnya hal ini menurut Seno Joko Suyono seperti mitos (rakitan, suka merakit sesuatu demi mendapatkan pemaknaan baru). Sementara Tadashi Zusuki juga dianggap melibatkan modus-modus kultural dengan melibatkan beberapa pemain Indoesia dari berbagai daerah dengan bahasanya masing-masing seperti Madura, Yogyakarta, Jakarta, Makassar, Surabaya, dll.

Modus kultural ini juga dilakukan beberapa seniman luar negeri lainnya, seperti yang dilakukan Bambang N. Karim (sutradara Australia yang berasal dari Indonesia), di mana saya pernah terlibat dalam praktik kerjanya dengan melibatkan koreografer lokal seperti Miftahul Jannah, Arda Fatimah Fania Ena, dan Yuniar, serta pemain Banyuwangi di mana setelahnya memunculkan narasi eksploitasi kultural. Sementara dalam bincang purnati tersebut; Dindon WS (sudah melakukan banyak pertunjukan di India, Australia, dll.) melihat kerja kolaborasi bukan hanya sebatas berteman di lintas negara, di mana titik bacanya dalam proses konseptual maupun gagasan-ide. Ia menekankan bukan hanya sekadar jalan-jalan saja. Kita harus jadi leader bukan hanya ekor, kita harus menggagas karena Indonesia sangat kaya bahannya. Karena itu kita harus mempunyai perumusan sendiri, dan memikirkan bagaimana platform-nya. Strategi berkebudayaan penting juga dilalui dengan cara kolaborasi interkultural sebagai leader, karena terlalu lama kita jadi penggembira. Apakah kita cukup puas berkolaborasi dengan para sutradara dari luar negeri di mana kita hanya sebagai pemain dan pendukungnya. Ini juga sebetulnya problematika yang pelik.

Teks ‘penggembira’ ini juga kemungkinan sebagai salah satu penyebab munculnya narasi eksploitasi agar kita memiliki ketentuan kerja kolaborasi interkultural yang tepat dan disepakati bersama di mana selama ini dianggap hanya sebelah mata selama honorarium yang diterimanya menggiurkan dan membahagiakan. Sementara Sri Qadariatin (yang pernah terlibat di teater garasi dalam kerja interkultural) melihat kolaborasi yang serupa dengan diproduseri orang Jepang dan kita sebagai ‘bahan’ kulturalnya. Ia menilai sikap kita yang sangat terbuka dan cenderung menjadi bahan ‘eksploitasi’. Sri Qadariatin juga memaparkan bahasa tubuh orang Jepang yang sulit dimengerti sehingga menimbulkan konflik dengan sendirinya; yang mungkin bisa dialami dari beberapa kasus kolaborasi interkultural. Dan Bambang Prihadi (yang juga beberapa tahun bekerjasama dengan Tadashi Zusuki) menggarisbawahi adanya kesetaraan kultural dalam kerja kolaborasi interkultural sangatlah penting, bahkan kita sesungguhnya memang tidak akan pesimis menyikapi bagaimana sikap menjadi leader di masa yang akan datang.

Platform dalam Narasi Eksploitasi

Rustom Bharucha (pengamat dari India) dalam Sal Murgiyanto menjelaskan bahwa sekarang ini, kita hidup dalam era konsumerisme, sebuah gaya hidup di mana manusia diukur dan dinilai melalui jumlah uang yang mereka belanjakan, sebuah gejala budaya yang mendunia. Dalam tataan ekonomi global, wacana ekonomi masuk dan mendominasi aspek lain kehidupan: budaya, seni pertunjukan, bahkan agama dan kepercayaan (Pertunjukan Budaya dan Akal Sehat. 2018 (cetakan ketiga), Jakarta, 291).

Catatan saya berdasarkan kutipan di atas menekankan gejala aspek ekonomi itu yang paling menjadi ‘tawaran narasi eksploitasi’ sebagai refleksi dari sebuah tegangan, seiring beberapa senimana lainnya yang hingga kini tampak masih merasa have fun saja dengan kolaborasi interkultural tersebut; layaknya Sardono W. Kusumo, Eko Supriyanto, maupun Sal Murgiyanto sendiri, dll. Seolah-olah tidak ada tegangan dalam kolaborasi tersebut, bahkan terlontar juga kerja intrakultural sebaiknya lebih ditingkatkan mengingat Indonesia sangat mewah bahan-bahan kulturalnya.

Sepakat dengan pernyataan intrakultural yang juga mungkin bisa dilakukan sebagai kinerja antar ‘keterpencilan’ atau antar ‘drama sosial’ yang melibatkan gabungan orang-orang skyzofernia, korban diskriminatif, transgender, maupun korban kekerasan rumah tangga juga mungkin bisa dilakukan dalam berbagai macam kebudayaan dalam satu negara. Kemungkinan yang paling krusial adalah dalam kerja kolaborasi interkultural itu hanya dibutuhkan platform yang disepakati bersama sehingga adanya kesetaraan kultural dengan didukung kinerja sistem pemerintahan; karena masih banyak narasi di publik mengeluhkan persoalan tidak adanya platform tersebut dengan menyudutkan sistem dan kurangnya dukungan dari pemerintah. Lagi-lagi persoalan sistem global; yang menurut saya bisa dilakukan dengan networking intercultural yang menjadi pola kinerja bersama. Jejaring inilah yang akan mengoperasikan layaknya kinerja dramaturg program yang menyusun kolaboratif sehingga kebudayaan orang/negara lain tidak hanya semerta-merta menjadi bahan kesejahteraan ekonomi satu bangsa dalam bernegara, justru bisa melihat kebudayaan luar negeri sebagai bahan yang bisa diolah dan dikerjakan dalam satu ekosistem. Karena kerja hari ini pun bukan hanya memperkenalkan (dalam arti populer) setiap senimannya, melainkan fungsi dan tujuan dari sebuah ekosistem di mana ada masyarakat di dalamnya; seni sebagai apa terhadap ekosistem tersebut.

Platform kultural dalam interkultural itu bisa menyerap kebudayaan luar negeri sebagai bahan yang mungkin bisa relevan dengan kelompok masyarakat dalam satu ekosistem di era postrmodern yang sudah terus berjalan dengan banyaknyanya tawaran-tawaran dan tegangan-tegangan. Seni dalam ekosistem di atas juga pernah dinyatakan oleh Afrizal Malna (komite teater Dewan Kesenian Jakarta); yang sudah banyak berkolaborasi interkulutral. Nampaknya hal ini perlu dipertimbangkan untuk dipraktikkan kerjanya untuk menjawab, apakah kita akan menjadi leader atau sudah cukup puas dengan menjadi penggembira? Berarti buka kita sebagai personal, melainkan kita sebagai kelompok masyarakat bersama yang didahulukan ketimbang personalnya masing-masing.


Arung Wardhana Ellhafifie, Penulis, dramaturg, dan program director (tv) sedang menjalankan studi S2-nya di Institut Seni Indonesia Surakarta, penciptaan seni teater.