Oleh Iman Akbar Sobari
Suatu malam, saya menghitung jumlah anjing. Pertama saya hanya menemukan tujuh anjing. Lalu tiga belas. Dua satu. Hingga beberapa puluh dan seterusnya. Satu per satu saya hitung. Cukup banyak juga anjing-anjing yang saya temukan. Di sudut-sudut kampung ini terdapat banyak anjing. Setelah dihitung, total jumlahnya ada seratus satu. Belum lagi anjing yang biasa melolong di kebun, di pasar, di toko-toko, dan di pinggir pantai.
Orang-orang tentu akan bertanya-tanya kenapa saya menghitung jumlah anjing. Padahal saya bukan petugas sensus anjing. Bukan pula petugas kebun binatang. Saya hanya seorang petani malang yang di ujung usia renta ini sering terganggu suara anjing. Tapi suara anjing yang mengganggu itu dari anjing jenis lain. Anjing itu gambar-gambarnya dipajang diberbagai media. Di televisi. Di medsos-medsos. Di pinggir-pinggir jalan. Sebaliknya anjing-anjing yang dihitung itu tidaklah terlalu gaduh. Malah anjing yang dihitung itu terkadang menghibur kesepian malam. Sebab suaranya yang nyaring menjadikan malam terasa hidup. Suara anjing-anjing itu akan memecah kesunyian.
Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran, “Bagaimana bila saya bisa membujuk anjing-anjing yang dihitung itu untuk membuat sebuah partai. Mungkin dengan nama: Partai Anjing. Tentu saja saya akan memberitahukannya. Bahwa ada yang harus diperjuangkan demi kemaslahatanya. Salah satunya mengenai pencemaran nama baiknya. Sebab seringkali namanya dicuri dan dimanfaatkan untuk sebuah makian atau hujatan.”
Lalu ada suara lain yang membatahnya, “Itu sesuatu yang konyol.Tidak mungkin anjing itu bisa membuat partai. Terkecuali anjing itu bisa berbicara dan memiliki banyak modal. Sebab di dunia ini semuanya tidak lepas dari modal. Semuanya dapat diurus dan diselesaikan. Termasuk sesuatu yang tidak logis itu. Tapi apapun alasannya anjing itu tetap binatang. Itu sangat tidak mungkin.”
Pikiran-pikiran itu terus berdebat tanpa bisa dilerai.Terkadang kekonyolan itu datang juga dalam mimpi.
Bila partai anjing berhasil didirikan mungkin saja akan meminimalisir dan meredam kegaduhan anjing-anjing. Karena keanjingan mereka lebih anjing daripada anjing yang sebenarnya. Bukankah itu lebih anjing di antara jenis anjing-anjing yang ada. Lebih liar dari anjing-anjing yang saya hitung. Lebih nyaring dari anjing-anjing yang setiap malamnya melolong panjang.Walau bagaimana pun anjing tetaplah anjing yang tidak mungkin bisa mendirikan partai politik. Kecuali memang anjing itu pandai berbicara, bernegoisasi, berceramah, dan tentu saja harus memiliki modal. Tapi apapun alasannya itu tidak mungkin.
Ketika orang-orang bertanya, mengapa saya menghitung anjing. Saya cukup bingung menjawabnya. Jadi saya memutuskan untuk tidak menjawabnya dengan jawaban yang tidak serius. “Saya tidak punya tujuan, saya hanya ingin menghitungnya saja.”
Lupa entah berapa orang yang sudah mempertanyakan hal itu. Sepertinya mereka penasaran sekali dengan apa yang saya lakukan. Sebab setiap kali melakukan penghitungan saya selalu menanyakan informasi tentang anjing yang mereka miliki. Selanjutnya saya akan berbasa-basi dengan sedikit menjelaskan mengenai seputar anjing. Baik karakter, kesukaan, atau cara memelihara anjing dengan baik. Bila seperti itu saya serasa menjadi dokter hewan. Bila ditanyakan mengenai tujuan menghitung anjing saya menjawabnya dengan tidak serius. Mungkin itulah yang membuat mereka penasaran.
Saya keliling kampung, dari satu rumah ke rumah yang lain. Setiap menemukan anjing saya akan bertanya kepada orang yang saya temui. “Apakah ini anjing Bapak? bila memang anjing bapak saya ingin menanyakan beberapa hal.”
Banyak sudah orang yang saya temui. Saya wawancarainya. Bila beruntung saya langsung mendapatkan data-datanya. Karena sang pemilik anjing langsung memberikan informasi terkait binatang peliharaanya. Saya mewancarai pemilik anjing dengan cukup lugas. Tenang dan sangat sabar. Agar mendapatkan data-data yang akurat dan lengkap.
Terkadang informasi atau data mengenai anjing tersebut tidak bisa diambil langsung. Karena pemiliknya tidak ada atau memang benar-benar tidak mengetahuinya. Namun banyak juga data yang langsung bisa didapatkan. Tapi jawaban yang didapat hanya petunjuk atau keterangan asal mula anjing. Saya tidak hanya menghitung jumlah anjing. Tapi juga mengambil data-data lebih spesifik dan eksplisit mengenai anjing yang saya hitung.
Tentu saja orang-orang akan menganggap itu aneh. Bahkan mungkin menganggap saya gila. Dengan begitu banyak pertanyaan dari orang-orang kampung. Mereka sepertinya penasaran dengan yang saya lakukan. Tapi tidak satu pun dari pertanyaan mereka, saya jawab dengan jujur. Karena bila saya menjawabnya dengan jujur, orang-orang akan menertawai saya. Jadi saya putuskan untuk tidak memberikan jawaban yang sebenarnya. Agar tidak satu pun orang yang tahu mengenai tujuan penghitungan anjing di kampung ini.
“Kalau boleh tahu, untuk apa data anjing-anjing tersebut? Karena saya sendiri tidak mengetahui berat badannya, panjang badannya, usianya, asal-usulnya. Saya lupa,” ucap seorang warga yang kebetulan memiliki anjing yang lumayan banyak. Ada sembilan anjing yang dia punya. Dari kesembilan anjing itu dia sendiri tidak sepenuhnya memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan. Karena dia sendiri tidak tahu. Seperti misalkan mengenai berat badanya. Panjang badannya. Atau asal-usul anjing itu. Karena anjing-anjing itu datang dengan sendirinya. Itulah sedikit informasi yang saya dapatkan dari pemiliknya.
Lumayan melelahkan juga melakukan penghitungan anjing seorang diri. Sedangkan anjing-anjing yang ada di kampung ini cukup banyak. Di kampung dimana saya tinggal setiap orang memiliki anjing. Rata-rata setiap orang memiliki dua atau tiga anjing. Namun tidak satupun yang memberikan keterangan mengenai anjing-anjingnya dengan jelas. Mereka tidak dapat memberikan informasi atau data-data secara lengkap. Sebab mereka memang belum pernah mengukur atau menimbang anjing-anjing itu. Apalagi dengan asal-usulnya yang hampir semuanya tidak mengetahuinya. Sebab anjing-anjing yang berada di rumahnya itu datang dengan sendirinya. Pantas bila mereka tidak mengetahui asal-usul anjing-anjingnya.
Mereka hanya tahu bahwa anjingnya sangat penurut. Sebab setiap kali pergi ke kebun atau ke hutan, anjing-anjing peliharaannya akan mengikutinya dari belakang atau berjalan di depannya. Seakan anjing-anjing itu telah menjadi pengawal setia untuk tuannya. Setiap tuanya pergi ke hutan atau ke kebun anjing-anjing tersebut akan mengawalnya. Sementara para warga hampir setiap hari pergi ke hutan atau ke kebun. Jadi ajing-anjingnyalah yang selalu menemaninya. Kemanapun tuanya pergi, binatang peliharanya selalu berada di sisinya. Anjing-anjing miliknya selalu menguntitnya dari belakang atau mendahuluinya dari depan.
Banyak sekali hewan-hewan yang bisa diburu. Di antaranya rusa, babi, tikus hutan, ayam hutan, landak, dan beragam hewan yang menghuni hutan. Hewan-hewan yang diburu itu bukan untuk diperjualbelikan di pasar. Melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dapurnya. Sebagai pelengkap lauk-pauk makanannya. Tentu saja hasil buruan itu tidak akan dimakan sendiri. Hewan hasil buruan itu akan dibagi-bagikan kepada saudara atau tetangga. Atau ke sanak saudara yang tinggal satu kampung. Itulah tradisi yang sudah turun temurun. Tradisi yang ada sejak nenek moyangnya.
Hingga kini masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai budaya itu. Tidak mengherankan bila kondisi sosialnya masih sangat baik. Saling bantu membantu. Saling menghormati satu sama lain. Serta saling berbagi, baik suka maupun duka. Itulah yang menjadikan kehidupan di kampung tetap rukun dan bersahaja. Lalu melalui anjing-anjing itulah ikatan persaudaraan mereka tetap terjaga. Sebab hasil buruan yang dibagi-bagikan itu, berkat anjing peliharaanya. Dari situlah warga menganggap anjing sebagai simbol persaudaraan.
Saya sendiri memiliki anjing. Tapi tidak seperti orang-orang yang memiliki banyak anjing. Sepertinya memiliki banyak anjing menjadi kebanggan tersendiri. Seakan anjing di sini menjadi pertanda dari strata sosial. Pembeda antara kelas-kelas sosial. Bagi yang memiliki banyak anjing akan disebut orang berada atau orang kaya. Karena anjing-anjing tersebut bisa mendapatkan tangkapan atau hasil buruan yang banyak. Sebaliknya yang memiliki sedikit anjing hasilnya sedikit pula. Itulah sebabnya anjing di sini sangat berharga dan dijadikan suatu simbol dari sebuah nilai yang di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Baik itu sebagai simbol persaudaraan ataupun simbol strata sosial.
Saya sendiri hanya memiliki satu anjing. Satu-satunya anjing yang menjadi teman setia bila ke kebun atau ke hutan. Hampir seluruh warnanya hitam dengan warna putih di bagian lehernya. Panjangnya sekitar delapan puluh centimeter dengan ketinggian enam puluh centimeter. Sedangkan berat badannya empat puluh lima kilogram. Saya tahu berat, tinggi, dan panjangnya setelah saya mengukur dan menimbang anjing satu-satunya itu.
Saya masih ingat pertama kali anjing itu ditemukan. Saat itu hujan deras dan hampir gelap. Tiba-tiba saja sebelum beranjak meninggalkan saung, anjing tersebut sudah ada. Anjing itu berteduh di dekat dinding saung bagian belakang. Tapi saya tidak memedulikan kehadirannya. Saya langsung beranjak pulang. Saung yang berada di tengah kebun itu saya tinggalkan. Walaupun di waktu-waktu tertentu saya akan menginap di saung. Namun sore itu saya putuskan untuk kembali ke rumah. Saung yang berbentuk panggung itu cukup nyaman dan aman dari binatang-binatang buas. Karena tinggi panggung itu sekitar tiga meteran. Membuat bangunan yang terbuat dari bambu dan kayu itu terasa menenangkan. Sore itu saya langsung beranjak menuju rumah. Di sanalah awal mula melihat Si Belang yang hanya seorang diri. Sepertinya Si Belang itu tersesat dan tidak tahu jalan pulang.
Keesokan harinya setelah saya kembali lagi ke kebun, dan ternyata anjing tersebut masih ada. Saya tidak tahu asal-usul yang sebenarnya. Karena anjing tersebut tiba-tiba saja berada di bawah saung. Semenjak itulah anjing yang akhirnya dipanggil Si Belang mengikuti ke mana pun saya pergi. Bila ke kebun atau ke hutan, Si Belang akan mengikuti dari arah belakang atau mendahuluinya dari arah depan. Seakan Si Belang menjadi asisten sekaligus teman yang paling setia. Apalagi saya seorang diri tanpa istri atau pun anak-anak. Istri sudah lama meninggal. Lalu anak-anak pun sudah berumah tangga dan tinggal di rumahnya masing-masing. Mereka menyebar di beberapa kota di negeri yang penuh anjing ini.
Saya memutuskan untuk tinggal sendiri. Seorang diri tanpa teman atau saudara. Lalu semenjak anjing itu datang, binatang itulah yang akhirnya menjadi teman. Bisa dikatakan Si Belang inilah satu-satunya teman yang selalu ada. Ke manapun pergi, Si Belang akan mengikuti. Si Belang itulah yang sering menemani berburu ke hutan. Serta Si Belang itulah yang paling setia menjaga kebun atau rumah bila saya tugaskan. Sebab dengan adanya Si Belang, semua keamanan seolah dapat dikendalikan. Mungkin dengan suaranya yang keras atau mungkin dengan tampangnya yang menyeramkan. Rumah ataupun tanaman di kebun aman dari segala gangguan. Sehingga beberapa petak kebun yang ditanami jagung dan ditanami palawija dapat dipanen. Bila tidak, tentu saja tanaman itu akan ludes dimakan babi hutan.
Bukan itu saja yang dapat diandalkan dari binatang berkaki empat itu. Si Belang ternyata sangat mahir dalam berburu. Maka tidak heran bila setiap berburu Si Belang akan membawa hasil buruannya. Anjing itu sangat gesit dan cakap saat melumpuhkan hewan yang sedang diburu. Hasil buruan itu akan dibagikan ke tetangga atau saudara sekampung. Buruan yang sering di dapat itu tidak lepas dari jasa Si Belang. Anjing yang postur tubuhnya cukup besar ini menjadi anjing yang lihai dalam berburu. Itulah kenapa saya menyukai Si Belang.Kepatuhan dan kepintarannya dalam memburu berhasil menarik perhatian semua orang. Bukan hanya saya saja yang memuji kelihaiannya. Para tetangga atau orang-orang di kampung pun mengakui kehebatan Si Belang.
Tapi tiba-tiba saja Si Belang raib seolah ditelan bumi. Saya tidak mengetahui keberadaannya. Bagaimana kondisinya. Masih hidup atau sudah mati. Tinggal dan tidurnya. Saya benar-benar belum mengetahuinya. Semenjak mendapatkan buruan rusa yang besar Si Belang hilang begitu saja. Seakan rusa besar yang didapatkan itu menjadi hadiah terakhir untuk saya. Juga untuk orang-orang yang berada di dekat rumah saya. Hewan buruan yang terakhir dibawanya, saya bagi-bagikan ke para tetangga.
Setelah itu Si Belang hilang tanpa jejak. Saya merasa cukup kehilangan dengan kepergiannya. Bukan saya saja yang ternyata merasa kehilangan. Anjing-anjing tetangga pun tampaknya merasa kehilangan. Karena beberapa hari setelah hilangnya Si Belang, anjing-anjing tetangga itu seringkali melolong panjang di halaman rumah. Tepatnya di tempat Si Belang selalu melelapkan tidurnya. Dari situ saya tahu bahwa anjing-anjing tersebut mencari-cari Si Belang. Anjing-anjing tersebut kehilangan Si Belang. Lalu para tetangga pun beberapa kali mempertanyakannya. “Pak, ke mana perginya Si Belang? Beberapa malam ini tidak mendengar lolongannya. Apalagi melihat mukanya?” Saya selalu menjawab pertanyaanya dengan jawaban yang tidak mengagetkan.
“Si Belang sedang bermain dengan temannya. Mungkin saja Si Belang telah menemukan pujaannya.Sehingga Si Belang malas untuk pulang.” Tetangga yang mempertanyakan Si Belang tentu akan tersenyum. Seperti itulah saya memberikan penjelasan mengenai Si Belang. Sebab bila memberitahukan yang sebenarnya, mereka tentu akan kaget.Mereka akan merasa sangat kehilangan.Tentu saja mereka akan sibuk tanya ini dan itu mengenai Si Belang. Bila itu terjadi saya akan lebih repot untuk memberikan jawaban dan penjelasan kepada orang-orang yang mengagumi Si Belang. Bukan saya atau anjing-anjing yang ada di sekitarnya yang merasa kehilangan. Tetapi para tetangga pun memang merasa kehilangan. Sebab Si Belang sudah memberikan jasa kepada orang-orang sekitarnya. Berkat Si Belanglah orang-orang di sebelah rumah saya sering menikmati lezatnya daging rusa. Berkat Si Belanglah beberapa aksi pencurian digagalkan. Itulah sebabnya bila saya menjelaskan tentang Si Belang, selalu dengan cerita yang sedikit heroik dan romantis. “Si Belang sedang jatuh cinta pada anjing betina milik orang kota.”
Di luar itu saya sebenarnya merasa kehilangan Si Belang. Saya mencari ke sana-sini untuk mengetahui keberadaan Si Belang. Mungkin saja memang Si Belang sedang bermain dan menemukan teman betinanya. Mungkin juga Si Belang itu sedang berburu di hutan. Semua dugaan itu tentu saja belum tentu benar. Tapi mungkin juga dugaan itu ada benarnya. Saya terus mencari keberadaanya di kampung-kampung sebelah. Di pesisir pantai yang tidak jauh dari kampung. Di pasar yang juga tidak jauh dari kampung. Barangkali saja memang Si Belang lupa jalan pulang. Saya terus mencari Si Belang di beberapa tempat. Namun hasilnya selalu nihil. Saya tidak menemukannya.
Dalam pencarian itulah saya melakukan pendataan terhadap anjing yang ada di tempat dimana saya tinggal. Tujuannya hanya satu untuk menemukan Si Belang. Maka data-data anjing yang diperoleh itu dijadikan sebagai bahan petunjuk menemukan Si Belang. Sebab tiba-tiba ada suara dalam hati, “Mungkin saja anjing itu berubah bentuk menjadi anjing yang lain dengan warna yang lain.” Konyol sekali saya ini. Tiba-tiba saja lahir banyak dugaan dan imajinasi yang tidak masuk akal. Salah satunya membayangkan anjing itu berubah bentuk menjadi manusia. Benar-benar konyol. Tapi dugaan-dugaan itu terkadang benar-benar membuat saya penasaran.
Bila seperti itu dan orang-orang tahu apa yang saya pikirkan dengan khayalan dunia fabel tentu mereka akan menganggap saya gila. Apalagi bila orang-orang mengetahui bahwa saya meyakini anjing itu telah berubah menjadi manusia. Mereka tentu akan menganggap saya ini gila.Maka saya tidak menceritakan kekonyolan yang saya yakini. Entahlah tiba-tiba saja saya meyakini kekonyolan dalam pikiran itu. Mungkin saja karena pernah mendengar dongeng-dengeng dahulu yang konon ada anjing yang berubah menjadi manusia begitupun sebaliknya ada manusia berubah menjadi anjing.
Betapa paradoksnya kehidupan di dunia ini. Selalu saja ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh nalar dan akal kita. Namun menurut salah satu orang bijak, sesuatu yang tidak bisa dijangkau akal kita itu sebagai tanda keluhuran Tuhan. Sehingga kita tidak mungkin bisa menjangkau segala yang diciptakannya. Bagi manusia tentu saja sangat aneh. Sebaliknya bagi Tuhan tidak ada yang aneh dengan segala yang diciptakannya. Sebab itu bagian dari skenarionya yang tidak mungkin diwartakan secara eksplisit pada mahluknya. Hal itu sama halnya dengan hilangnya Si Belang begitu saja. Tanpa jejak atau pesan yang ditinggalkannya. Hanya Tuhan dan Si Belang itu sendiri yang tahu alasannya menghilang tanpa jejak. Sedangkan penelusuran saya yang menghabiskan cukup waktu ternyata tidak membuahkan hasil. Data-data yang saya ambil tidak menunjukan tanda-tanda keberadaan Si Belang. Data itu tidak bisa memberikan jalan untuk menemukan Si Belang.
Sementara saya sendiri masih menduga-duga dan meyakini kata hati mengenai Si Belang. Itulah sebabnya saya melakukan hal yang aneh dan tampak konyol. Menghitung anjing-anjing yang ada di sekitar kapung ini. Di jalan-jalan. Di rumah-rumah. Di pesisir pantai. Dan di pasar-pasar yang keberadaanya tidak jauh dari kampung. Tapi usaha itu tidak menunjukan tanda-tanda yang diharapkan. Tidak ada anjing yang saya temui memiliki kemiripan dengan Si Belang itu. Mungkinkah kini Si Belang itu telah menjelma sebagai manusia atau memang masih menjelma sebagai anjing. Tapi dengan wajah yang lain. Pertanyaan konyol dan tidak masuk di akal tersebut masih saja muncul dalam pikiran konyol ini.
Bila saya menceritakan tentang kekonyolan yang ada dalam pikiran saat ini. Tentang Si Belang yang mungkin saja telah bereinkarnasi menjadi manusia atau berubah bentuk menjadi anjing yang lain. Tentu orang-orang tidak akan memercayainya.Sebaliknya orang-orang kampung akan menganggap saya sakit jiwa. Itulah sebabnya saya selalu menjawab pertanyaan orang-orang tentang Si Belang dengan tidak serius. Saya tetap merahasikan tujuan dari pendataan dengan menghitung anjing-anjing yang ada di kampung ini. Jika orang-orang tahu mengenai tujuan penghitungan anjing yang saya lakukan tentu mereka akan menertawakan saya. Pikiran yang tidak masuk akal itu hanya beberapa saat saja. Selanjutnya saya sadar bahwa itu tidak mungkin terjadi. Tidak ada sejarahnya tentang binatang yang berubah atau bereinkarnasi menjadi manusia. Itu tidak mungkin. Kesadaran pikiran kembali pulih.
Pada pagi hari yang masih berembun, saya menemukan Si Belang telah tergeletak di pertigaan menuju pasar. Tidak ada seorangpun yang mengangkat atau memindahkan tubuhnya yang sudah kaku. Motor dan mobil hilir-mudik melintasi Si Belang yang sudah menjadi bangkai. Saat itu pula saya merasakan sesuatu yang hilang. Terasa ada sesuatu yang roboh dalam diri saya. Seekor anjing yang selalu menemani hari-hari saya ke kebun atau ke hutan kini terbujur kaku. Dari Si Belang inilah kejutan dan kegembiraan sering datang. Si Belang seringkali menenteng hasil buruan. Tentu saja yang menikmatinya bukan hanya saya saja. Tapi para tetangga yang tidak jauh dari rumah.
Di saat bersamaan saya mendapati orang-orang yang sering disebut wakil rakyat itu berbondong-bondong digiring menuju meja hijau. Saya menyaksikannya pada salah satu stasiun televisi milik konglomerat yang kini disebut-sebut sebagai orang penting di negeri ini. Negeri yang mulai di penuhi anjing. Sebab konon menurut data statistik dan lembaga survey, anjing-anjing itu datang dari segala penjuru dunia. Ada dari Eropa. Dari Afrika. Dari Amerika. Dari Australia. Satu lagi yang paling banyak dari Asia.
Semuanya menyebar ke segala sudut negeri yang sudah banyak anjing ini. Kabar itu akhirnya sampai ke telinga orang-orang kampung yang banyak memiliki Anjing. Ada yang penasaran dengan anjing-anjing tersebut. Ada yang geram dan mengumpat saat mendengar berita kedatangan anjing-anjing itu. Sebab di negeri ini sudah terlalu banyak anjing. Dengan adanya anjing-anjing dari berbagai benua akan menjadikan negeri ini sangat bising. Tapi konon suara anjing itu sangat merdu dan indah. Suaranya seakan menyihir orang untuk menyambutnya dengan baik dan penuh dengan segala persembahan.
Hal itu sama dengan penyambutan orang-orang yang disebut wakil rakyat ketika digiring ke meja hijau. Mereka disambutnya dengan kamera-kamera yang berjejer saat mereka berjalan sambil melepaskan senyum yang sumringah. Di saat itu pula saya tiba-tiba merasa mual seperti mencium sebuah bangkai anjing yang baru saja ditemukan di tengah jalan.Tapi anehnya saya sangat mual melihat wajah orang-orang itu. Wajah yang kini memenuhi berbagai sudut media. Sebaliknya saat mencium bangkai Si Belang saya menemukan sesuatu yang biasa ditemukan pada diri manusia. Perasaan sedih dan empati saat melihat ketidakberdayaannya sebagai mahluk Tuhan. Sedangkan menyaksikan segerombolan orang-orang itu saya seperti melihat binatang-binatang liar. Orang-orang yang wajahnya sumringah itu tiba-tiba saja dalam pandangan saya berubah menjadi segerombolan anjing.
Anjing yang tergeletak di tengah jalan itu tiba-tiba saja menerbangkan bau wangi. Semacam bau beragam bunga yang sering dijumpai di toko-toko bunga. Saya menciumnya dan merasakan ada yang berbeda dengan bangkai-bangkai anjing pada umumnya. Anjing yang sudah tidak bernyawa itu terus menerbangkan keharuman. Orang-orang yang tidak sengaja lewat pun akhirnya berhenti dan merasakan kenikmatan dari harum yang berasal dari bangkai anjing tersebut. Hanya beberapa saat tempat itu dipenuhi orang-orang. Sedangkan saya sendiri masih terpaku tidak percaya akan keadaan Si Belang.
Lalu kaki melangkah mendekati Si Belang yang sudah tidak terdengar lagi suaranya. Saya hanya merasakan wangi yang semakin menusuk nikmat. Wangi yang menyembur dari tubuhnya yang terbujur kaku. Kemudian saya menutupi tubuhnya dengan sehelai kain batik yang kebetulan dijadikan syal. Saya tutupi seluruh bagian tubuhnya dengan kain itu.Dengan penuh perasaan sedih sekaligus bahagia dapat bertemu kembali. Lalu saya kembali berdiri dan menatapnya penuh rasa iba, sedih, dan bahagia. Saya terus menatapnya dari jarak yang sangat dekat. Begitu pun orang-orang yang berkerumun menyaksikan pristiwa yang jarang ditemui dalam kehidupannya.
Sesaat sangat aneh dan singkat. Tiba-tiba saja ada angin besar yang diliputi cahaya yang menyilaukan. Sampai-sampai tubuh tergeser dari tempat saya berdiri. Angin itu terasa kuat sekali. Sedangkan cahaya itu sangat teramat menyilaukan. Sehingga membuat saya bergeser sedikit dari hadapan anjing itu. Lalu angin yang bercampur cahaya itu bergulung seakan membalut kembali tubuh anjing setelah saya balut dengan sehelai kain.Seketika sangat jelas dan teramat cepat angin yang bercampur cahaya itu langsung menerbangkan bangkai anjing. Hanya beberapa detik anjing yang telah dibalut kain batik itu telah berada di ketinggian langit. Sesaat dalam kedipan mata anjing yang saya balut itu telah menghilang tanpa bekas. Sama sekali tidak ada jejak yang ditinggalkan di tanah. Kecuali keharuman yang semakin menebal bagai kabut di pagi itu.
Iman Akbar Sobari, penyair dan guru yang suka naik gunung. Karyanya, dimuat di beberapa media nasional. Buku kumpulan puisi tunggalnya, Mengukir Lima Bunyi Hujan, 2018 dan kumpulan cerpen Sudut Paling Senja di Matanya, 2018.