Oleh Ali Ibnu Anwar
Geng Gelanggang, demikan kelompok ini menamakan dirinya, kembali membuat “onar” penonton dengan pertunjukan Blank (30/11/2019). Bagaimana tidak dikatakan “onar”, jika penonton yang datang harus membeli tiket, sementara mereka tidak mendapatkan fasilitas yang nyaman. Bermodal tempat terbuka (arena), di bilangan Universitas Negeri Jember (UNEJ), Geng Gelanggang menyuguhkan pertunjukan yang uhui.
Rasanya, bukan Geng Gelanggang kalau tidak membuat “onar”. Dari awal pertunjukan, penonton dibiarkan bingung untuk menentukan tempat duduknya. Semula, semua penonton mengira arena paving berbatas temali (senar) yang menggantung botol-botol adalah arena pertunjukan. Namun, ternyata mereka salah menilai. Justru arena tersebut diperuntukkan penonton.

“Oh, boleh toh duduk di sana,” begitu kira-kira salah satu suara penonton yang merasa lega, bahwa dirinya akan bisa menikmati pertunjukan dari arah dekat. Bahkan hanya beberapa senti saja, dengan pelaku panggung (untuk mengganti aktor dalam pertunjukan eksperimental). Membaur dalam lanskap ruang, yang hanya berbatas level (papan kayu) saja. Dari sini, gangguan terhadap penonton sebagai upaya saling mengumpan respon cukup berhasil.
Pertunjukan diawali dengan rekaman audio mamacah (tradisi lisan Madura), yang kemudian terintervensi dengan rekaman hiphop. Bergerak menjadi suara riuh yang bergemuruh, yang lambat laun menjadi suara entah, tak lagi bisa ditangkap jelas oleh telinga. Blank. Disambut suara seorang pelaku panggung (Aldi) di kamar mandi, menyanyikan lagu bintang kecil. Kemudian, ia mengaku belum mandi. Lalu menarasikan persoalan, kenapa ia tidak mau pacaran dan lain-lain. Dan banyak lagi. Blank.
Seorang lainnya (Cindy) memegang palu, berada di sebuah level menarasikan seabrek persoalan. Tentang, kenapa seseorang yang di kamar mandi tidak pacaran, keinginannya untuk pergi ke paris, mempertanyakan fungsi lembaga keamanan (polisi), dan beragam hal lain. Blank. Di respon oleh seseorang di kamar mandi. Keduanya saling silang narasi. Menjawab seadanya. Sekenanya, lebih tepatnya. Blank.

Cindy, pelaku panggung berada di tengah-tengah penonton. (Foto dok. Ali Ibnu Anwar)
Seorang lagi (Jodi) dalam posisi meringkuk, juga menarasikan banyak hal. Dari narasi yang cecar mencecar tersebut, bagaimana persepsi desa dan kota dalam kepalanya dibangun. Kemudian, ia menghadap ke cermin. Berbicara dengan dirinya sendiri. Kata-katanya semakin deras. Dan. Blank.
Sementara, di luar tiga pelaku panggung, yang jika titik ketiganya ditarik garis membentuk segitiga terbalik tersebut, instrumen musik mengantar pertunjukan dengan instrumental dramatik, yang mengantar ketiganya meresapi, sekaligus menyesapi narasi-narasinya. Suara seruling, alat musik gesek, berpadu dengan sesuatu semacam suara badai. Itulah, awal ketiga pelaku panggung tersebut saling merespon dengan tubuh. Cindy, yang membawa seekor kucing kepada Aldi, lalu menyerahkan palu yang semula di tangannya. Blank.
Aldi menyambut palu tersebut, dan menghampiri titik Cindy, yang sudah ditinggalkan oleh penghuninya. Ada sebuah batu besar di sana. Aldi berusaha memecahkan batu itu, tapi usahanya sia-sia. Palunya lucut dari gagang. Tergambar upaya sia-sia sisypus. Blank.
Tubuh-tubuh ketiganya bergerak senyap. Blank. Adegan persenggamaan yang gagal menarik perhatian, sebab seseorang mengganggu adegan tersebut dengan riuh suara dari srengseng seng yang bergetar. Blank. Tubuh-tubuh robotik berupaya untuk berlaku akrobatik, pada bagian luar, berbatas imajinasi jemari jeruji dari kawat-kawat yang terikat atas bawahnya. Blank. Suara riuh lagi. Blank.

(Foto dok. Ali Ibnu Anwar)
“Potong bebek angsa, angsa di kuali. Botol minta dansa, dansa…” giliran dua pelaku panggung bernyanyi sembari memotong sebuah tali (senar) penghubung botol-botol yang bergelantungan. Sontak, ketika botol-botol yang menggantung lebih rendah itu, serupa semburan sperma. Beberapa penonton pun kembali terganggu, sehingga memilih untuk pindah. Ada yang kalah. Blank. Ada yang entah. Blank. Blank.
Seseorang menyiapkan tontotan video pementasan melalui proyektor dari arah yang berlainan. Ternyata hanya menggiring opini. Bukan tontonan yang sebenarnya. Blank. Dari arah berlawanan Cindy menari dikelilingi lima bola api. Kenapa lima? Blank. Instrumen musik mengiringi tarian tubuhnya. Menggeliat. Blank. Mengiris-iris. Blank. Meliuk. Blank. Blank. Blank. Selesai.
Fragmen-fragmen Provokatif
Gambaran sederhana pertunjukan di atas, tentu tidak utuh. Potongan-potongan peristiwa tubuh dan narasi berjejal tersebut, memunculkan berbagai pertanyaan dan kemungkinan dalam sesi diskusi selepas pertunjukan.
Pada sesi ini, Dwi Pranoto, penyair dan pengamat pertunjukan di Jember, menyebutkan, pertunjukan Geng Gelanggang paling tidak memberi pengalaman baru buat penonton teater. Konsep peleburan penonton yang tidak selazimnya, memberi nafas segar. Sesuai realita kehidupan hari ini, yang nyaris tidak mempersoalkan batasan-batasan. “Di awal pertunjukan, tubuh tidak dieksplor secara maksimal. Justru relatif berisik di seperempat bagian akhir, tak seperti pertunjukan sebelumnya,” paparnya.
Hal tersebut, kata Pranoto, ditandai dengan beberapa gerakan tubuh kesetrum (robotik). Ada dua aktor (pelaku panggung) yang mengindikasikan narasi gerak tersebut pada pemain. Berbeda dengan seorang pelaku panggung, menjelang pertunjukan berakhir. Secara keseluruhan, pertunjukan tersaji secara pecah-pecah. Tidak utuh. Walau tidak dapat ditangkap secara pasti, inti dari pertunjukan meliputi: topik dan unsur yang ingin sensibilitas yang dibangun, tapi fragmen-fragmen tersebut beberapa gangguan yang menonjol.
Sementara Anwari, salah seorang sutradara dan aktor teater, melihat bagaimana sutradara mengolah dan memperlakukan aktor (walau pada dasarnya aktor dalam konsep dasar eksperimental, sebatas pelaku panggung). Dogma sosial dan visual juga berbenturan. “Tiga pertunjukan dikombinasikan seperti sambal uleg, namun masih utuh secara jahitan,” tegasnya.
Anwari lebih membaca, bahwa teater konseptor, teater visual, dapat diolah dengan baik dan memberi pengaruh visual sehingga membawa dampak katarsis atau penyadaran sebagai pengetahuan baru berteater. Dan dalam hal tersebut, Geng Gelanggang masih dalam taraf “kenanggungan” yang belum mengurai motivasi tersebut. Misalnya, energi dulu atau power dulu yang ingin dicapai. Bagaimana teks diutak-atik, bukan hanya sebatas ruang artikulasi, tapi juga bisa menjangkau ruang yang lebih tegas.
Berbeda dengan kedua pengamat sebelumnya, Isnadi, dosen dan pelaku seni di Jember, justru membaca pertunjukan Blank berupaya memunculkan unsur stilistik yang kental, tinimbang pertunjukan Geng Gelanggang sebelumnya, yang lebih mengarah pada presentatif. Selain itu, strategi mengacak framing, membuat penonton menikmati pertunjukan secara personal. Oleh karenanya, Cak Is, begitu sapaan akrabnya, membaca dan mempertanyakan ulang, bagaimana arah teater Gelanggang ke depan.
Di mata Arung Wardhana, dramaturg yang sedang menempuh studi di Institute Seni Indonesia, Solo, membaca kemungkinan lain dalam lanskap penciptaan. Arung merasakan dramaturgi hoax pada tubuh-tubuh di atas panggung. Akan menarik, jika perilaku “hoax” tersebut digunakan sebagai metode kerja dramaturgi, yang akan linear dengan konsep pementasan.
Menanggapi persoalan-persoalan tersebut, Putra Yudha, sutradara Blank, menyebutkan bahwa ia memposisikan bahasa bukan sebagai alat komunikasi yang secara umum terjalin dialogis. Dalam pertunjukan Blank, Yudha justru menyebut bahasa sebagai alat provokatif yang mengantarkan sejumlah persoalan dalam realita hari ini. Jika penonton membaca terdapat sejumlah “hoax” di atas panggung, memang demikian adanya. “Termasuk, mengapa iklan botol minuman tersebut, berada di dalam botol. Itu juga salah satu strategi hoax secara simbolis,” jelasnya.
Estetika Hipersemiotika Blank
Menyikapi bahasa sebagai bagian dari alat provokatif pada tubuh-tubuh pelaku panggung dalam pertunjukan Blank, tampaknya perlu dikaji ulang secara mendalam. Sebab, motif provokasi, bukan sebatas mengaudiensi penonton melalui artikulasi bahasa saja. Yang terpenting, bagaimana tubuh penutur juga melakukan upaya tarik-menarik tersebut dengan tepat.
Sementara dalam tahapan ini, saya melihat tubuh-tubuh di atas panggung cukup terbebani dengan narasi-narasi hipersemiotika. Sehingga dalam beberapa hal, dugaan saya tubuh-tubuh itu berusaha untuk meniru artikulasi narasi (menghafal), bukan menjadi satu kesatuan artikulasi dan teks (menghadirkan).
Saya membaca, gaya narasi tersebut adalah gaya narasi yang tidak bisa lepas dari sutradara. Seandainya, gaya menarasikan teks oleh tubuh-tubuh (yang bukan Yudha) itu, diperlonggar, boleh jadi akan lebih memperkuat motif provokatif, sebagaimana dimaksudkan oleh sutradara. Sebab, narasi teks puitik dalam pertunjukan Blank, sebenarnya berpotensi menghasilkan estetika hipersemiotika tubuh yang ciamik.
Definisi hipersemiotika Umberto Uco (Semiotika dan Hipersemiotika: kode, gaya dan matinya makna, 2010), pada prinsipnya merupakan disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie). Artinya, jika sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkap dusta, maka sebaliknya tidak dapat pula digunakan untuk mengungkap kebenaran (truth). Lebih menengangkan lagi, hipersemiotika tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan apa-apa.
Estetika hipersemiotika, tampaknya juga terlihat pada beberapa peristiwa-peristiwa “hoax” yang dimainkan tubuh-tubuh di atas panggung. Justru tipu daya panggunglah yang entah disadari atau tidak, mampu melahirkan definisi-definisi baru, tentang “hoax” yang bersifat sangat intim dengan penonton.
Mungkinkah, estetika hipersemiotika yang dibangun dalam sejumlah narasi besar, sebenarnya merupakan upaya untuk tida menjelaskan apa-apa? Semacam terjadi tumpang tindih pertunjukan atas pertunjukan. Bila memang demikian, maka pertunjukan Blank benar-benar berhasil membuat para penonton “blank”.
Ali Ibnu Anwar, pegiat seni dan petani tinggal di Jember