Oleh Arung Whardana Elhafifie

Tulisan ini saya mulai dengan story telling; setelah pertunjukan berlangsung di mana Afrizal Malna muncul menghampiri Abi ML yang sedang duduk bersama saya di depan Gedung Pertunjukan Bulungan (Auditorium GRJS) dan lansung melemparkan pertanyaan, “Gimana, Bi? Suka elo?” Abi ML bertanya balik, “Kalau menurut elo, Bang?” Afrizal Malna pun menjawab, “Gue suka. Menarik ya.” Karena buru-buru Afrizal Malna segera pergi. Abi ML pun merasa kalau selera Afrizal Malna terkadang aneh, karena pada malam itu ia tak terlalu menyukai pertunjukannya, yang akhirnya mencari pendapat lain di mana saya ditodong dengan pertanyaan yang sama. Sepanjang perjalanan pulang pun coba membahasnya dengan perspektif batasan di luar selera, suka dan tidak suka, dan hari ini. Yang nantinya jika mereka berdua bertemu kemungkinan akan membahas ulang, dan memungkinkan pandangan ini di luar batasan itu berada di antara mereka, di luar Anda semua. Tentu saya garisbawahi yang memiliki perbedaan pandangan ini coba melakukan pembacaan dari dua hal; yakni “Transportasi” Budaya Populer, maupun teorinya Rebecca Rouse dalam disertasinya A New Dramaturgy For Digital Tecnologhy in Narrative Theater di Georgia Institute of Technology.

 “Transportasi” Budaya Populer

Sekedar mereview ingatan saya yang mendekati kehilangan (gejala amnesia); Budaya populer adalah budaya yang lahir atas keterkaitan dengan media. Artinya, media mampu memproduksi sebuah bentuk budaya, maka publik akan menyerapnya dan menjadikannya sebagai sebuah bentuk kebudayaan. Populer yang dibicarakan di sini tidak terlepas dari perilaku konsumsi dan determinasi media massa terhadap publik yang bertindak sebagai konsumen (Dominic Strinati: Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (Penerjemah: Abdul Mukhid). Yogyakarta. 2007, hal.40). Kutipan di atas akan mengantar teks ini; sebagai hal pertama, dalam pertunjukan Teater Suara Indonesia Muda (SIM) dengan lakon Pembajak Makan Malam karya & sutradara Athpal Paturusi yang diadaptasi dari sebuah film Italia Perfect Strangers/Perfetti Sconosciuti karya Paolo Genovese (produksi 2016), yang berlangsung pada hari kamis, 15 Agustus 2019 pukul 19.30 WIB sebagai pembukaan mengawali gelaran Festival Teater Jakarta Selatan yang berlangsung pada 16-29 Agustus, yang nantinya 11 September, malam anugerah di jalan Bulungan nomor 1, yang diselenggarakan suku dinas kebudayaan dan pariwisata Jakarta Selatan bekerjasama dengan Simpul Interaksi Jakarta Selatan (Sintesa). Athpal Paturusi memaparkan adaptasi cerita film Perfect Strangers (yang belum saya tonton) dilakukan tanpa izin ke pembuat film/production house-nya (syah-syah saja karena non komersial). 

“Film aslinya telah diremake oleh tiga negara, yaitu Meksiko, Spanyol, dan Portugal, dan teater SIM berencana memestaskan ulang naskah ini di waktu mendatang, tapi tentunya dengan seizin pembuat film itu,” ucap Athpal Paturusi sebagai tambahan melalui chat di whatsapp. It’s ok!!!!

Film, televisi, radio, majalah, internet, game, huru-hara, makanan siap saji, ojek/taxi online, product endorse, dan lain-lain yang terjadi hari ini sebagai konsumsi publik merupakan budaya yang populer. Bahkan hal-hal yang viral pun hingga adegan dramatis pembuangan sepeda motor di depan polisi, pembawa anjing di dalam masjid, narasi kaum melarat dalam pengembaraannya, hingga sketsa lokalitas Banyumasan dan lain sebagainya gambaran sederhana yang dibicarakan publik hari ini seketika, dikonsumsi taruhlah suka atau tidak suka melalui web youtube misalnya. Jelas hal ini dipengaruhi banyak hal di antaranya pengetahuan yang masuk, peradaban yang menjadi ruang, hingga dialektika yang dikonsumsinya membuat kita semua antara suka dan tidak suka pada satu hal termasuk sebuah pertunjukan. Misalnya Pembajak Makan Malam yang selintas merupakan representasi hari ini yang belum terlalu menjawab persoalan budaya yang sedang terjadi dan keluhan viral generasi z dan setelahnya—alpha (jika menonton atau di luar tontonan).

Kembali ke story telling tadi; kenapa Afrizal Malna yang dianggap Abi ML aneh seleranya ketika menyukai pertunjukan Pembajak Makan Malam? Saya kira berada di antara aneh dan ketidakanehan hari ini sebagaimana lingkungan yang terjadi juga berada di antara batasan itu sehingga juga bisa mengkonstruksi pikiran siapapun. Dan jangan heran ketika seorang tukang sapu jalanan menonton pertunjukan Athpal Paturusi seleranya sama dengan Afrizal Malna; dan akan mengatakan hal yang sama. Realitasnya adalah ketika kita mempertanyakan ulang gelegak tawa penonton di beberapa adegan yang konyol, dan berbau seksual, membuat mereka bahagia apakah sudah ada batasan modernisasi dan tradisi. Saya kira sudah tidak bisa berada di jangkauan itu. Pergeseran pun sudah menabrak batasan-batasan yang semakin tidak jelas (malah menuju kejelasan yang punya proyeksi baru). Karena media sudah begitu hebat mengkonstruksi dengan kejutan-kejutan di luar dugaan. Maka barangkali juga Afrizal Malna melihat itu dari Athpal Paturusi mengkonstruksi populer lingkungan hari ini ke atas panggung dengan pola pemeranan yang tidak membesar seperti layaknya pada umumnya. Bahkan terlihat sangat kecil gerak-gerak tubuh dan proyeksi suara setiap aktor dalam permainannya. Setiap aktor potensial kuat dalam spektakel baru yang akan saya utarakan di sini. Malah tubuh teknologi yang cukup besar sangat “menjamah” pertunjukan itu. Satu hal yang menarik tentunya sekalipun ada beberapa hal catatan yang memungkinkan dicoba (tidak dicoba tak masalah).

Microphone yang digantung layaknya pertunjukan tradisi, sound speaker (digitalisasi) yang ditimbulkan dari luar panggung, dan isu gadget sebagai cara permainan untuk membongkar karakteristik manusia merupakan kebudayaan hari ini. Sekalipun permainan gadget yang menurut saya (ada dalam selera ketidaksukaan sekalipun suka gagasannya). Satu hal yang mungkin digarisbawahi (ketidaksukaan saya); karena pertunjukannya tidak berusaha dikaburkan sebagai hakikat dari budaya populer dalam wilayah perbedaan konsumtif itu. Sebabnya sebagaimana Mc Donald dalam Strinati (2007:18) melihat suatu budaya yang bisa dikatakan lahir karena faktor di luar sistem kebudayaan yang wajar. Budaya populer/budaya massa, sebagai sebuah kekuatan dinamis, yang menghancurkan batasan kuno, tradisi, selera dan mengaburkan segala macam perbedaan. Budaya populer adalah gaya, gagasan atau ide maupun perspektif, dan sikap yang benar-benar berbeda dengan budaya arus utama ‘mainstream’ (budaya tinggi).

Saya melihat dari awal mencurigai sudah bakal terlihat akan seperti apa akhirnya layaknya menonton serial elektronik pada umumnya, begitu juga menonton film-film bioskop yang ada di indonesia. Padahal pengaburan di berbagai macam cara kuno dan hari ini sudah dileburkan, tapi di sisi lain perbedaan konsumtif yang saya maksud adalah bagaimana praktik sutradara memberikan penanda sosial (semiotika sosial) dalam budaya populer itu lewat karakter yang dimainkan tokohnya. Bisa memungkinkan pengaburan semacam selera publik pada tokoh dengan ditandai peleburan sekaligus fungsional televisi, film, internet, media sosial akan lebih memberikan tawaran lebih menjanjikan. Saya melihat masih ada keinginan yang ditahan dengan kekhawatiran menjaga konvensi-konvensi sebelumnya. Padahal produk budaya populer dengan konstruksi elemen-elemen lainnya bisa jadi sebagai jalur evakuasi terhadap isu yang diusung. Bagaimana ya gagasan populer ini bisa kabur secara perbedaan konvensi? Bagaimana ya akhir story itu tidak terlalu penting sekalipun diketahui oleh penonton? Saya justru tidak memikirkan akhir story, tetapi lebih kepada bagaimana cara memperlakukan selanjutnya.

Karenanya tontonan televisi dan film semestinya juga digerakkan pada pengertian budaya populer sesungguhnya; bukan hanya selesai pada sebatas hiburan yang diproduksi secara massal. Ada tugas lain dalam penyebarannya sesuai dengan konstruksi hari ini seperti layaknya live streaming, yang bisa dikonsumsi secara langsung sehingga kita akan kabur antara perbedaan realitas dengan kesenian (khususnya pertunjukan).


Gambar 2.  Handphone/gadget menjadi isu menarik pertunjukan(Foto: Lis Kurniasih).

Saya membaca Abi ML yang tidak terlalu menyukai pertunjukannya; terletak pada konstruksi ruang yang dibangun sebagai sugestifitas pada ruang tengah manusia-manusia hedonis hari ini yang dinilai terlalu cerewet menghadirkan material ruang. Material begitu banyak; mungkin juga kita semua terjebak pada istilah sugestifitas itu yang belum clear. Istilah memang merepotkan dan perlu pengujian serta pelacakan secara banyak dari berbagai macam sumber. Atau pilihannya realitas yang dipotret dan ditransportasikan ke atas panggung. Layaknya studio-studio film dan televisi. Kenapa materialnya tidak dipilah, atau disisihkan saja sebagai tabungan data. Kalau memang dihadirkan sebagai realitas, kenapa tidak ditransportasikan saja ke dalam pertunjukannya? Ini yang saya maksudkan adalah perbedaan konsumtif publik bisa ditandai dengan pembedaan antara realitas dengan kesenian. Transportasi budaya populer; realitasnya bisa ditandai dengan teknik akting, ataupun kondisional handphone/gadget hari ini di mana yang terus berdering dan berbunyi sepersekian detiknya. Ramai yang tak berdamai. Realitas yang menggelitik tentunya dalam suasana makan malam yang dirampok, dibajak, hak manusia yang dibajak oleh naratif teknologi, sesungguhnya sudah melanggar etika hidup kalau bicara masa lampau yang terus bergeser polanya. Kenapa budaya populer dengan penyebaran massanya tidak dilangsungkan secara realitasnya, maka berbagai sosial media akan menyebarkan produk massal semacam ini. Dan memungkinkan realitas pembajakan semacam itu di antara dengan kehadiran wilayah kesenian, dengan menghadirkan realis simbolis.

Menurut Ben Agger sebuah budaya yang akan masuk dunia hiburan, maka budaya itu umumnya menempatkan unsur populer sebagai unsur utamanya. Budaya itu akan memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai penyebaran pengaruh di masyarakat (Burhan Bungin: Penelitian Kualitatif. Jakarta. 2009, hal.100). Sosial media merupakan media sangat penting hari ini; karena hal-hal di luar dugaan sudah banyak terjadi di beberapa tahun belakangan ini. Internet dengan youtube punya peran besar dalam mentransportasikan keanehan dan ketidakanehan tersebut. Saya tadi menyebutkan keluhan generasi z, generasi y yang ada di hidup pada era sekarang; ini cara saya menulis dengan melompat bukan saya tidak sengaja. saya memang sengaja mengaburkan cara menulis catatan dalam populer terlepas diterima atau tidak diterima oleh Anda semua, tapi yang paling penting bagaimana konstruksi penyebaran/difusi massa yang bergerak sama dalam kedua hal tersebut. Di mana keluhan ini ada hubungannya dengan hal kedua; yang saya mau catat sebagai review pengetahuan.

Review Digital Tecnologhy in Narrative Theater Rebecca Rouse


Gambar 2. Adegan makan malam yang dilakukan para aktor (Foto: Lis Kurniasih).

      Pertunjukan yang dimainkan (yang mungkin saya konfirmasi nama tokohnya ke sutradaranya) Abi Mulyono, Ilma Rosmala, Yudhi Kurniawan, Miftahul Jannah, Giandra Kartawijaya, Bryan Adam S sangatlah bisa dinikmati mau stereotip atau tidak dalam menciptakan spektakelnya; yang memungkinkan dicari spektakel baru dalam wilayah simbolis untuk membedakan dengan budaya yang sudah berlaku selama ini.

This is mainstream, American theatre, which is most often created from the guidelines of a written script. The type of writing most often found in these scripts focuses on traditional elements such as character, plot, and dialogue. I do not mean to suggest the script is the play. The play is only realized through production, which is a complex collaboration involving many techniques, technologies, practitioners, and interpretive processes. However, according to the framework of opposed aspects I suggest, the dominant characteristic of this theatre genre is the emphasis on narrative. In successful examples of this genre, the script, techniques, technologies, and practitioners work in concert to communicate an interpretation of the story at hand (Rebecca Rouse: A New Dramaturgy For Digital Tecnologhy in Narrative Theater. Georgia, 2013, hal.19). Rouse menganggap hari ini sebagai arus utama; teater Amerika, yang mungkin bisa kita bantah bersama meskipun nyatanya naskah dari sana dibuat secara tertulis layaknya ditemukan unsur-unsur tradisional seperti karakter, alur, dan dialog. Rouse tidak pula menyarankan naskahnya adalah lakon. Karena saya pun sepakat hari ini naskah bisa diwujudkan melalui bagan-bagan produksi, profil seniman dan kolaborator, curhatan kurator dengan seniman, maupun saling sahut menyahut siapapun di email seputar pertunjukan atau di grup, atau instagram dan sosial media lainnya, whatssapp, screenshot video youtube, maupun link-link jejaring sosialnya yang mana Rouse menganggap hal itu kolaborasi kompleks yang melibatkan banyak teknik, teknologi, praktisi, dan proses interpretatif. Meskipun ia menyadari hal ini memang sangat berlawanan pada aspek kerangka yang sudah mapan. Lakon jelas memuat penokohan, pengenalan, pertentangan, penajaman yang dipertentangkan, dan penyelesaian dari peristiwa. Yang mana hari ini banyak naskah teater; yang digabungkan antara lakon dengan karakteristik dominan penekanan pada narasi. Rouse mencontohkan keberhasilan dari pertemuan ini adalah naskah, teknik, teknologi, dan praktisi bekerja bersama untuk mengomunikasikan interpretasi dari cerita yang ada.

Cerita hari ini pun juga berangkat dari isu yang sedang terjadi di masyarakat, yang membedakannya adalah bagaimana memberlakukan cara kerja isu tersebut ke dalam sebuah pertunjukan. Apakah menjadi sebuah narasi, meleburkan imajinasi dengan data, atau mengargumentasikan semacam esai dalam sebuah pertunjukan, atau sebuah proses transportasi reportase. Artinya tergantung alat yang dijadikan transportasi tersebut; apakah sejenis busway sebagai jalur yang ditawarkan birokrat, atau publik hedonis yang membutuhkan kenyamanan seperti berlomba-lomba membeli mobil mewah, atau masih menggunakan mikrolet dengan segala macam keterbatasannya yang bisa mengakses jalur-jalur yang tidak bisa diakses oleh kendaraan lainnya, atau dengan cara mengkolaborasi semua elemen kemungkinan dari setiap kendaraan tersebut.

Digital media scholars have shifted the meaning of the term media toward the meaning of artistic media or an artistic medium, which refers to an artist’s materials. This shift has been important in gaining recognition for the computer as legitimate tool for creative expression, and has allowed cultural products created with the computer, such as video games, to enter into the realm of serious inquiry within academia. However, the move to define digital media as an artistic medium has also linked it to modernist ideas of medium centricity and a program of medium development (hal.20). Kita semua sudah mengetahui apa yang dikatakan Rouse di atas; bahwa sarjana media digital telah menggeser makna istilah media ke makna media artistik yang mengacu pada bahan-bahan seniman. Sebagaimana keluhan sutradara yang kehilangan aktornya, begitu juga aktor yang kehilangan sutradaranya seperti yang diungkapkan Afrizal Malna dalam sambutan malam pembukaan tersebut. Afrizal menilai kita seperti berjalan sendiri-sendiri tanpa melihat pergeseran yang sudah berlangsung ketika banyak aktor yang sudah semakin malas membaca, lebih banyak main game, nonton youtube dan sosial media. Atau juga sutradara yang hobbynya mengumpulkan dokumen-dokumen, foto-foto, traveling, benda-beda lama semacam artefak, dan hal-hal ekstrem. Rouse mencatat hal ini penting sebagai eksistensi komputer sebagai alat yang syah untuk ekspresi kreatif, dan telah memungkinkan produk budaya cukup serius dalam dunia akademis. Seniman yang di luar itu menangkap dan membacanya dengan cepat dan mendefinisikan media digital sebagai media artistik juga telah menghubungkannya dengan ide-ide modernis medium sentrisitas dan program pengembangan media. Maka saya melihat sebetulnya pertunjukan Pembajakan Makan Malam ini bisa lebih masuk kepada ruang pengembangan dunia digital yang lebih menjanjikan, atau memang tidak mau meninggalkan dunia analognya yang terlalu sakral bagi semua atau sebagian orang. Sekalipun bisa dilakukan dengan cara percampuran; tapi saya masih melihat perjalanan dramaturginya terletak pada kesendirian material layaknya konsepsi pikiran yang terjadi di masyarakat teater itu sendiri.

Hal ini dipicu karena perjalanan ruang berpikirnya di kita masih sendiri-sendiri, tergantung komunitasnya, kelembagaannya, dan dinas otonominya. Saya juga tidak melakukan pembacaan dengan cara merangkum pertunjukannya, bahkan akhir yang sudah ada dalam kepala saya, sebutlah identitas manusia yang bersembunyi di balik tubuh manusia dan medianya. Maka media begitu perkasa dengan permainan untuk menguji seberapa jujur kita disembunyikan, ini sudah dengan mudah setiap orang melakukan pembacaan. Namun mungkin lebih menarik cara konstruksinya dalam pembongkaran identitas, kemudian perpindahan realitas dan kesenian rasanya memungkinkan bisa lebih asyik dan koreksi atau sentilan bersama-sama. Jangan-jangan sikap seniman hari ini memang tidak begitu terbuka satu sama lain, sehingga memunculkan pemikir-pemikir beda dengan platformanya masing-masing, atau memang dihuni sekelompok seniman yang bekerja tanpa platform yang jelas. Saya justru melihat Pembajakan Makan Malam bisa menjadi refleksi bersama tentang sikap kita yang terlalu angkuh dan sombong, terutama dalam identitas itu sehingga memunculkan saling tuduh antara satu dengan lainnya sekalipun tidak ada kebenaran yang mutlak. Apakah seorang gay salah, atau seorang lesbian salah, atau seorang kecenderungan yang doyan perempuan dan laki-laki itu salah, saya juga tidak memahami kalau itu dituding secara tidak adil sebuah mutlak kesalahan yang hadir dari zaman ke zaman. Teknologi hari ini bisa menjadi korban sekaligus biangnya di antara dua sisi mata uang.

Bukan berarti teknologi digital hari ini adalah sebuah kebenaran yang hakiki, sehingga itulah yang paling benar. Namun identitas publik hari ini dan masa akan datang kemungkinan narasi teknologi akan selalu menghantui dan berlomba-lomba untuk saling update dan upgrate, instal ulang, maupun menciptakan aplikasi-aplikasi baru, termasuk aplikasi identitas manusia bisa diformat sedemikian rupa.

Permainan mengkonstruksi identitas manusia bisa lebih menarik ketika hal itu ditebalkan; saya membayangkan hal yang menggelitik bagaimana banyak game yang menformat dan ramai secara publik yang terjadi hari ini? Kita tidak bisa memungkiri ketergantungan publik pada teknologi media begitu dominan sebagai media baru.

Understanding the importance and impact of the concepts digital media, new media, intermedia and digital performance, I choose a different path for this project and select the more general phrase digital technology. Looking to the root of the word technology, the Greek word techne meaning art, skill, or craft, is appropriate for application to theater practice, which also identifies with craft. By digital technology, I mean any object that has a computerized component. This refers to a vast set of tools and could be anything from an infrared tracking system, to weight sensors, robotics, or 3D projection mapping (hal.24). Entah kenapa saya menonton pertunjukan itu justru memberikan inspirasi lain terlepas suka dan tidak suka, hal yang menurut saya tidak terlalu menarik dinarasikan sekalipun itu sangat jelas akan muncul dalam hati; media baru dalam kinerja digital yang disebutkan Rouse begitu pentingnya pemahaman ini dan dampak dari setiap komponen yang sudah terkomputerisasi. Ini yang mengacu pada seperangkat alat yang luas dan bisa berupa apa saja dari sistem pelacakan infra merah, sensor berat, robot, atau pemetaan proyeksi 3D yang menurut saya bisa memungkinkan masuk untuk membuyarkan dunia realitas, atau semakin menebalkan realitasnya. Atau semakin memperkuat nilai digitalisasi seninya. Berbagai macam konsep intermedia di samping praktik kinerja digital, media baru, saya pun juga bersetuju dengan Rouse ketika pandangan umum teknologi dikembalikan seperti yang saya maksudkan.

Mungkin Anda melihat ini sebagai cara yang sempit atau jauh; maka coba kita lacak satu pemetaan proyeksi 3D, infra merah, sensor berat, kepada narasi identitas setiap tubuh kita. Seperti kata Afrizal Malna pun di mana aktor sudah bukan menjadi tubuh panggung, tubuh pertunjukan. Aktor bisa menjadi penghubung tubuh lainnya, aktor semacam pengantar atau muqaddimah tubuh aslinya. Aktor bisa menjadi mesin jahitnya, tidak lagi sebagai penjahit baju yang baik. Aktor bisa tidak menjadi menyimpulkan, atau tugasnya memantik saja karena media menjadi tubuh panggung/pertunjukan seutuhnya yang mungkin lebih dominan. Bisa jadi Athpal Paturusi punya tawaran lain ketika dunia analog masih dominan, sementara isunya adalah teknologi teater yang bekerja berat hari ini. Bukan berarti saya salah melakukan pembacaan, bukan juga ia salah memperlihatkan performing-nya setelah tentu sangat serius bekerja atas nama seni yang begitu hebatnya.  


Gambar 3. Salah satu adegan menuju akhir lakon Athpal Paturisi (Foto: Lis Kurniasih).

The work of dramaturgy is the development of content and meaning in production, and characterizing technology as an anti-theatrical force, for whatever reasons, shuts down potential innovation and ignores the long, inextricable history of performance and technology, both digital and mechanical (hal.36). Rouse menilai bahwa new dramaturgy adalah pengembangan konten dan makna dalam produksi, dan mengkarakterisasi teknologi sebagai kekuatan anti-teaterikal, untuk alasan apa pun, apakah itu disebut akan menutup potensi inovasi dan mengabaikan sejarah kinerja dan teknologi yang panjang dan tak terpisahkan, baik digital maupun mekanik. Tapi sebetulnya justru memberikan peluang-peluang dalam inovasi lain sekalipun jarang sekali ditemukan hal yang original, karena ketika dilacak tentunya berhubungan dengan performing lainnya.

Dan gambar di bawah ini sebagai penutup narasi saya, kemungkinan-kemungkinan, deskripsi atau argumentasi semacamnya yang bisa dilihat dari emosi dan ekspresi keduanya (sepasang istri) yang mungkin akan semakin masuk pada narasi teknologi digital sebagai pembacaan hari ini yang terus bergeser.


Gambar 4. Adegan menuju paling akhir Pembajak Makan Malam (Foto: Lis Kurniasih).