Oleh Arung Wardhana Ellhafifie

Sesungguhnya tidak ada hal yang luar biasa, tetapi cukup menarik sebuah pertunjukan tari Orfeus yang digelar pada Sabtu-Minggu, 11-12 Mei 2019 di teater black box Salihara dalam kategori kesenian yang aman dan mapan. Teks tersebut ditulis Goenawan Mohamad, direktur artistik dan koreografernya Melati Suryodarmo. Pertunjukan berjalan pada umumnya sebagai ikatan antara penari, komposer, pembaca puisi dengan penonton  dirajut dengan irama yang lambat. Saya kira hal itu sebagai konsep rancangan artistik secara visual dengan munculnya video di panggung dengan disinematograferi Tri Doso Novrianto; di mana pembaca puisi (Rebecca Kezia) berjalan pelan-pelan ke arah deretan kursi dan beberapa baskom aluminium.

(I)

Lima menit sebelum kereta berangkat

perempuan itu berkata kepadanya.

“Orfeus, aku tak akan kembali.”

Di halte dusun itu ia terdiam.

Berdasarkan teks Komunitas Salihara Art Center yang menjelaskan bahwa Orfeus adalah musisi Yunani kuno yang terkenal. Ia menikahi seorang peri hutan bernama Euridike. Sayangnya di hari pernikahan sang mempelai wanita mati digigit ular dan jiwanya melayang menuju kerajaan Hades di bawah tanah. Karena patah hati, Orfeus turun ke alam bawah tanah untuk mencari kekasihnya sambil membawa lira bersamanya. Musik Orfeus begitu indah sampai-sampai Hades, sang penguasa sangat tersentuh. “Aku akan mengizinkanmu membawa Euridike kembali ke dunia dengan satu syarat. Kamu harus berjalan di depan kekasihmu dan jangan menengok ke belakang sampai kamu keluar dari kerajaanku.” Orfeus bergegas berangkat. Ia ingin memastikan Euridike mengikutinya dan memandang wajah cantik Euridike. Ketika hampir tiba di gerbang kerajaan, karena tak sabar ingin melihat keindahan mata belahan jiwanya ia menengok ke belakang. Seketika itu juga, kekasihnya pun lenyap. Akibat membangkang, Orfeus bersedih seumur hidupnya.

Few years previous to this, I had worked with a choreographer who had never worked with a dramaturg before, and I had written a document to try to explain, not what dramaturgs are for (I would never dare do that!), but what I considered my self to be for. I now use it in all my new processes and in my teaching. I ask directors and choreographers to go through it and tell me what they want, don’t want or need that isn’t mentioned. I sent this document to Koen and he said he was very happy with it all – which I found very exciting (Lou Cope and Koen Augustijnen with contributions from Annie Pui Ling Lok in Katalin Trencsényi and Bernadette Cochrane (edited): New Dramaturgy International Perspectives on Theory and Practice. London, New Delhi, New York, Sydney. 2014). Saya kutip tulisan ini berdasarkan ceritanya  Annie Pui Ling Lok sebagai pengantar pertunjukan Orfeus untuk melakukan pembacaan. Di mana dirinya bercerita bahwa beberapa tahun sebelumnya, pengalaman kerja sebagai koreografer yang sebelumnya tidak pernah bekerja dengan dramaturg. Ia sudah menulis dokumen untuk mencoba menjelaskan bahwa merasa cocok karjasamanya dengan dramaturg. Bahkan ia cukup hati-hati dan tidak berani mengatakan atau mempertanyakan keberadaan dramaturg dalam cara kerjanya. Dan ia mulai membiasakan diri menggunakannya dalam semua proses pertunjukan yang baru dan proses pengajarannya. Lalu menganjurkan sutradara dan koreografer untuk menjalaninya dan memberi tahunya apa yang diinginkan seorang dramaturg; dokumen pun dikirimkannya ke Koen dan disebutkan kalau Koen sangat senang dengan itu semua yang menurut dirinya sangat menarik.

Artinya saya melihat kerja dramaturg sangat memungkinkan dalam sebuah pertunjukan akan mencapai hasil, hasrat, visi, hakikat, dan misi dari pertunjukannya dengan baik. Maka saya yang mempelajari kerja dramaturg dari bangku kuliah ataupun praktik di lapangan melalui beberapa komunitas pertunjukan melihat hubungan dokumen; kaitannya dengan teks yang ditulis Goenawan Mohamad cukup diperlukan agar mampu menerjemahkan dan mewujudkan gagasan Orfeus tersebut ke panggung dengan bahasa gerak atau tari. Kalau mengutip kalimat Yudi Ahmad Tajudin (teater garasi); sebagai operating system teks-teks puitik dengan cara Melati Suryodarmo. Saya kira fungsional dari Goenawan Mohamad sebagai direktur artistik juga memperlakukan dirinya dalam cara kerja seorang dramaturg; di mana di Indonesia masih ‘riuh’ batasannya antara kerja penyutradaraan ataupun seorang direktur artistik. Saya mencurigai kalau pertunjukan itu memang tidak menggunakan cara kerja dramaturg yang fokusnya pada gagasan hubungan teks dengan gerak agar terwujud dengan baik tanpa adanya ‘kegelapan’ pengetahuan yang ada di kepala penonton, termasuk saya yang menontonnya. Sebab teksnya sendiri juga cukup ‘gelap’ tentang Orfeus; yang sebagaimana tidak memiliki literatur yang banyak, maka hanya menangkap teks-teks yang hampir sama dengan data dari website, saya kira disayangkan bagi seorang Goenawan Mohamad karena tidak pernah membukan pintu gerbang pengetahuan Orfeus ke dalam pikiran saya yang miskin literatur soal tersebut.


Gambar 1. Para penari Orfeus menggunakan kursi sebagai mediumnya (Foto: Salihara)

Annie Pui Ling Lok melanjutkan ceritanya; Koen is a gentle man and he was never particularly comfortable with my attempts to place him at the centre of his work. Of course les ballets are known for creating work with rather than on dancers, so we all knew that most of the movement material would come from the dancers themselves. But Koen was one of those dancers, as well being the choreographer, and I was convinced that unless we could really get into him and his own feelings about death and grief, then we could not expect the piece to do that either. Saya melihat pengenalan atau pembacaan karakter antara koreografer dengan dramaturg, koreografer dengan penari diperlukan dalam praktik kerjanya sekalipun mereka tidak terlalu lama mengenal. Bahkan Koen yang lembut dianggap tidak pernah merasa nyaman pada pusat pekerjaannya juga penting dinilai sebagai upaya dalam praktik kerja antara penari dengan koreografer, penari dengan penari berdasarkan latar belakang disiplin ilmu yang dimilikinya seperti Koen yang berasal dari disiplin ilmu berbeda; dan ketika balet diperlukan pada kebutuhan pertunjukan agar benar-benar bisa masuk ke dalam dirinya dan perasaannya sendiri tentang kematian dan kesedihan, meskipun menurutnya tidak bisa mengharapkan karya untuk melakukan itu. Termasuk saya yang mengharapkan pada Orfeus yang kehilangan Euridice; harapannya bisa masuk ke dalam peristiwa kehilangan dan kematian itu maupun irama-irama musik yang membuatnya terpana sehingga ada perjanjian dan kesepakatan, atau pengetahuan lain yang tidak dimiliki semua pembaca di luar data yang sudah didapat dari sebelumnya. Justru saya sangat berharap teks-teks itu menghubungkan kemungkinan musik, lirik, syair, historik sehingga sangat menjadi sebuah peristiwa yang penting untuk diketahui; atau memang bukan hal yang penting sehingga karya pertunjukannya cukup berada pada zona menarik dan keren saja. Tetapi saya membutuhkan jembtan kosntruktif pengetahuan yang tepat sebagai nutrisi gizi saya; seperti juga yang diungkapkan Annie Pui Ling Lok; Lou’s interest in the needs and problems of a performer particularly caught my attention in her original introductory document, and it makes her a constructive bridge between the choreographer and the dancers. My previous dramaturg had another approach: he was close to me but much more distant from the dancers.

Berdasarkan ceritanya bahwa ketertarikan Lou pada kebutuhan dan masalah seorang pemain khususnya menarik perhatian Annie Pui Ling Lok pada teks-teks pengantar aslinya, dan hal itu dijadikan jembatan konstruktif antara koreografer dan penari di mana dramaturgnya sebelum itu memiliki pendekatan lain: yakni memilih dekat dengannya dan menjauhi pemain yang hampir sama dilakukan oleh saya; karena bagi saya dramaturg meletakkan hubungan kerjanya pada perwujudan wilayah artistik sutradara ataupun direktur artistik, bukan memasuki ruang-ruang pemain/penari secara lebih dekat dalam kemampuan dan pengetahuan. Karena barang tentu akan mengalami kontradiksi dalam cara kerjanya. Namun kaitannya dengan pertunjukan Orfeus; saya membacanya antara teks, penari, koreografer, bahkan direktur artistiknya sekaligus penulis teks tersebut tidak memiliki penghubung yang tepat agar pertunjukan tersebut tidak hanya dikategorikan menarik, mapan, dan keren. Saya rasa kalau masalah kemapanan dan kekerenan sudah tidak dapat disangsikan.

Lagi-lagi saya sebagai penonton memiliki tuntutan lebih dalam memproduksi pengetahuan imajinasi, pengetahuan intelektual, sastra, musik, pada konstruktif yang tepat bagi seorang Goenawan Mohamad dan Melati Suryodarmo. Bukan hanya metafor gerak untuk menarasikan kembali hubungan peristiwa sepasang kekasih yang saling mencintai, tetap lebih dari itu bagaimana saya yang buta tentang Orfeus meyakini kemampuan musisi briliannya di atas panggung; ibaratnya saya mendengar lantunan ayat suci Alquran, kalau disebutlah Orfeus sebagai keturunan Dewa yang dipuja dan diagungkan. Maka saya tidak berlebihan rasanya jika menganalogikan kefasihan seorang qari Muammar ZA, atau qari muda Syamsuri Firdaus yang memenangkan juara satu pada MTQ Internasional pada 29 Mei 2019 ke atas panggung; karena lantunan tersebut seperti irama musik yang syahdu sehingga saya percaya bahwa Orfeus betul-betul menjadi sosok agung yang mempengaruhi peradaban manusia.

Maksud saya adalah representasi dari kehilangan dan kematian menurut saya tidak terlalu menarik dalam teksnya Goenawan Mohamad; karena dalam kepala saya bertanya-tanya tentung representasi puitical dramaturgy dari tubuh seorang Orfeus yang masih gelap secara kelahiran dan biografisnya. Barangkali kegelapan bisa ditutup Goenawan Mohamad dengan membersihkan keriuhan pertanyaan tersebut; atau memberikan tanda-tanda menuju kegelapan yang akhirnya pertunjukan sebagai pintu gerbang riset berikutnya yang sudah dilakukan oleh periset sebelumnya dan belum mampu diselesaikan. Kegelapan itu semakin ‘riuh’ ketika Melati Suryodarmo melahirkan Euridice dengan segala penanda material yang kurang tepat, sehingga lenyap dalam jembatan konstruktif yang belum memungkinkan dimasuki ‘pintu’nya.

(VI)

Kemudian Orfeus bercerita: “Aku menghelamu dari gelap bawah sadar. Tubuhmu lembab air tanah. Rambutmu tersibak seperti arus hitam, dan sedetik kulihat bekas pada pelipis: kematian. Sebuah liang yang memutih, meskipun samar, seperti tera. Barangkali ia telah tertoreh di sana, sebuah tanda mula, seperti titik genetik, seperti tilas tak tersentuh. Benarkah kulihat kau senyum, bibirmu yang kembali fana? Aku menghelamu dari dingin, Euridice.”

“Jangan menengok, Orfeus. Masa lalu selalu tak utuh lagi.” 


Gambar 2. Ekspresi Rebecca Kezia dalam satu adegan Orfeus (Foto: Salihara).

Gambar 3. Bagian terakhir adegan Orfeus dalam kehilangan dan kesendirian (Foto: Salihara).

Barangkali menurut saya, cara kerja dalam seni pertunjukan pada teks-teks puitik memang diperlukan cara kerja dramaturg (seorang lagi di luar direktur artistik) untuk memungkinkan perwujudan pada panggung bisa berbeda ketika terjadi diskusi atau brainstorming dengan koreografer, perminataan data atau dokumen, literatur, atau beberapa data pendukung lainnya seputar Orfeus tanpa melihat sosok siapapun yang terlibat. Karena di Indonesia ini kecenderungannya hanya melihat tokoh yang dihadapi seolah-olah mereka tidak memiliki celah untuk dikritisi. Dan saya menulis catatan ini bukan tidak menikmati pertunjukannya, karena bagi saya review yang hampir serupa sudah dilakukan rekan-rekan media lainnya dalam melaporkan pertunjukan baik secara online maupun cetak, sehingga saya betul-betul kebingungan dalam menganalisis dan mencatat realitas waktu lama; antara imajinasi hasil dengan yang terjadi di panggung tanpa melihat seberapa hebat proses di balik panggung tersebut, seberapa intens mereka bersusah payah untuk menyatukan jiwa tubuh mereka, memciptakan bagan biografis dan historis. Namun saya melihat ini; sebagai orang yang mempelajari cara kerja dramaturg membutuhkan energi pengetahuan lain pada proses kebudayaan yang sedang dijalani bersama-sama. Sehingga saya bisa menggerakkan teks yang gelap dan lenyap lewat sebuah pemanggungan yang memberikan kemungkinan-kemungkinan. Bukan hanya melihat tempo penari yang berjalan lambat hingga cepat, bergerak memainkan kursi, dan bergerak ke baskom satu persatu sekalipun punya makna yang berharga, atau memang sudah terkonstruksi seperti itu. Maka saya tidak perlu melakukan tuntutan yang lebih besar untuk mengkonstruksi kepala saya ke dalam pengetahuan baru layaknya saya menganalogikan musik ke dalam lantunan ayat suci Alquran oleh seorang qari.