Oleh Syamsul Pranata

Ethnografi-Ethnoreflika

“Ethnografi; proses eksplorasi sistem tanda (simbol) yang mencoba mengungkapkan bahasa visual sebagai tanda (simbol). Sebab setiap yang tampak tidak melulu jadi tanda.”

Di dalam narasi artistik, secara bentuk sampai saat ini, saya mempercayai ruang antara, yang saya maksud adalah kedekatan-kedekatan tertentu antara tubuh dan benda. Disadari atau tidak, capaian kedekatan-kedekatan itu akan terungkap dengan sendirinya.

Saya tidak begitu percaya pada identitas tubuh saya, ketika saya berada di dalam ruang lingkup darat. Saya merasa ada semacam benturan realitas baik di dalam mau pun di luar diri saya. Berbanding terbalik ketika saya berada di dalam ruang lingkup laut. Saya merasa memiliki ikatan emosional yang kuat juga history begitu panjang terhadap laut. Sebab saya, nota bene adalah seorang nelayan. Di laut, saya seperti dihadapkan pada jalan pulang. Laut adalah rumah yang teduh, yang paling syahdu, bagi saya sebagai tubuh mau pun sebagai jiwa.

“Laut adalah rumah” berangkat dari ungkapan itu. Saya mencoba mempertanyakan ulang identitas tubuh saya baik yang di darat atau pun yang di laut. Bagaimana mungkin saya memiliki frekuwensi pemikiran dan perasaan semacam itu? Sebab pada kenyataannya, saya justru lebih banyak menghabiskan waktu saya di darat ketimbang di laut. Ketika saya mencoba menelusuri sekaligus mengukur ketegangan antara keadaan yang genting dan teror psikologi terhadap laku (responsif) tubuh terhadap realitas yang berlangsung sehari-hari. Saya rasa ruang lingkup di laut  mengerikan ketimbang ruang lingkup di darat. Tetapi, entah mengapa saya justru merasa lebih nyaman, bahagia, tentram dan damai ketika berada di ruang lingkup laut. ketimbang di darat. Meski pada kenyataannya, saya tidak dapat menolak realitas sehari-hari yang terus belangsung di darat.

Mencari… Mencari… Dan terus mencari… itulah yang hingga saat ini saya lakukan. Membongkar identitas tubuh, dari asal mula tubuh saya terbentuk dari sign (tanda/simbol) hingga menjadi identitas yang utuh. Dan secara Visual saya katakan sekali lagi, bahwa saya lebih menitikberatkan eksplorasi saya pada sign (tanda/simbol) sebagai sarana dalam kajian ethnografi-ethnoreflika.

Dalam seni pertunjukan, teater dan tari; misalnya. Tidak jarang saya jumpai dialog atau percakapan-percakapan soal tubuh. Ada banyak istilah-istilah atas tubuh yang saya dapati dari sana. Seperti, tubuh urban, tubuh kultur atau tubuh organik, dan ada juga tubuh alami. Dari hal tersebut di atas itulah. Saya mempertanyakan kembali, di mana posisi tubuh saya atau identitas/bentuk tubuh saya sendiri? Dari mana tubuh saya (di)terbentuk? Ruang darat atau ruang laut? Lagi-lagi ini bukan soal kediaman/ruang atas tubuh itu berada, tapi bagaimana tubuh dapat lebih leluasa merekam kenyataan-kenyataan yang berlangsung di sekitar tubuh, atau tubuh yang disusun atau bentuk secara sadar oleh ruang. Karna dalam perspektif ruang, ruang cukup berpengaruh bagi laku tubuh.

Dalam pendekatan “ethnoreflika” dalam kerja tanda-tanda (simbolis), sangatlah memungkinkan bagi kita, untuk dapat menemukan identitas tubuh kita secara personal. Bahkan, kita juga dapat mencari tahu di mana kita berada ; saat ini, saat lalu dan saat yang akan datang melalui kedekatan ruang antara di tubuh kita dalam bentuk visual. Dalam sebuah temuan, setelah saya mengikuti workshop Ethnografi-Ethnoreflika. Berawal ketika fasilitator memulai pengenalan diri dengan mendefinisikan siapa saya-kita ke dalam bentuk visual melalui gambar-gambar, mencari apa yang paling mendekati untuk dijadikan sebagai tanda bagi identitas diri. Saya sempat bingung dan bertanya-tanya kepada diri sendiri. Apa yang akan saya gambar untuk mendefinisikan diri saya melalui tanda.

Dari sana saya mencari bentuk tanda yang tepat menurut saya untuk mewakili narasi diri (identitas). Saya mulai terpancing dan terpantul ke sebuah ruang di mana saya mengakrabinya dengan aktifitas sehari-hari. Pekerjaan saya sebagai nelayan sangat dekat dengan perahu, sungai, laut. Kedekatan itulah yang membuat saya tak berpikir panjang untuk menggambar perahu sebagai benda sekaligus tanda bagi identitas diri saya. Ya saya menggambar perahu. Bagi saya, perahu tidak melulu sebagai alat transportasi, perahu adalah juga bagian dari tubuh/diri saya.

Seorang peserta workshop dari beberapa seniman terpilih dalam kelompok Seniman Rimpang Nusantara 2019, yang memang secara latar belakang memiliki relasi ruang lingkup hidup. Tajriani thalib adalah seorang yang berasal dari pesisir Mandar, Polewali, Sulawesi Barat. Dalam kesehariannya dia banyak menghabiskan waktunya di laut, naik perahu sambil membawa beberapa buku bacaan. Sebab Tajir adalah seorang pejuang literasi, ia adalah salah seorang volunter perpustakaan di Sulawesi Barat.

Tajir merefleksikan dirinya juga ke dalam bentuk visual; perahu, layar, buku dan notasi nada. Tajir sedang melakukan pendekatan pada alat musik tradisional Sulawesi Barat, Kecaping. Tajir begitu tertarik dengan alat musik tersebut selain persoalan alat musik kecaping saat ini nyaris punah atau katakanlah tidak ada lagi generasi sekarang yang memainkan alat musik tersebut, khususnya bagi perempuan. Secara filosofi bentuk kecaping menyerupai perahu. (Selain itu, ada sejarah panjang di balik bentuknya). Dari temuan itulah, saya jadi semakin yakin terhadap kedekatan tubuh dengan benda dan termasuk ruang lingkup hidup.

Menurut saya, mungkin ruang tidak terlalu autentik sebagai perspektif atas kedirian secara primordial. Saya lebih meyakin sebuah kedekatan subyek dengan objek, maka tidak menutup kemungkinan jika seseorang memiliki kecenderungan tertentu, sesuai keakraban subjek dengan objek (benda).

Pada temuan peristiwa yang lain, pasca FGD, kami semua para seniman melakukan perjalanan menuju pantai yang berada di daerah gunung kidul, jogja. Perjalanan yang mengasikkan dengan topografi jalan naik turun, seperti gelombang laut. Kenapa saya bilang seperti gelombang, karna jaraknya berdekatan. Maka dari situlah saat dalam perjalanan di atas mobil yang saya tunggangi, saya merasakan, saya seperti berada di tengah laut diatas perahu yang sedang berlayar, sebagaimana saya saat melaut. Kadang-kadang, mungkin kita tidak menyadari peristiwa seperti ini, misal dalam konteks ini, saya jadi berfikir bahwa kehidupan laut tidak melulu kita jumpai di ruang laut, sebagaimana saya yang seorang nelayan. Ada hal kemiripan suasana atau perasaan atau ingatan yang dapat memancing kita merasakan kenyataan laut yang ada di luar laut, semacam korelasi peristiwa puitik di dalam laut dari luar laut, darat. Perjalanan ini tentu tidak hanya sebagai perjalanan refreshing belaka atau perjalanan yang cuma-cuma. Tetapi selain dari bentuk refreshing, kami semua sedang melakukan simulai lapangan dengan mengeksplor persoalan-persoalan atau isu yang sedang terjadi di tempat tersebut dengan berbincang-bincang mengenai gerakan dari masyarakat setempat dll…

Saat kami semua tiba di pantai seruni dan mendengarkan cerita-cerita (isu) dari teman-teman Walhi yang pada itu melakukan observasi sebelum-sebelumnya yang katanya di sana akan di bangun apartemen-apartemen. Waktu itu teman-teman Walhilah yang menjadi penunjuk arah dalam perjalanan kami ke lokasi tersebut. Setelah saya dan temen-teman semua mendengarkan banyak cerita, lalu kami semua berjalan ke arah pantai, entah kenapa, saya tiba-tiba jalan menuju pantai lebih awal, mendahului teman-teman yang lain. Saya seperti ingin lebih awal sampai di bibir pantai, saya merasakan pulang pada laut atau rumah saya, saya seperti pulang ke dalam diri saya, dan saya seperti menyetubuhi tubuh saya sendiri. Tak lama kemudian, salah satu teman saya si Tajir juga mendekati-menikmati suasana pantai dengan sendirian di sebuah tempat yang sudah disediakan oleh masyarakat setempat untuk tempat berteduh. Di persinggahan pantai kedua, pantai watu kodok, Tajir menggungkapkan hal menarik; Aku kalau ketemu pantai atau laut, aku merasa seperti pulang ke rumahku”. katanya. Sementara teman-teman berkumpul di tempat yang lain. Tidak terlalu jauh jaraknya dengan bibir pantai. Tapi dalam kacamata saya, secara frekuensi atau energi bagian dalam tubuh, atau keakraban diri, saya dan Tajir memiliki kedekatan yang sama antara ruang tubuh dengan laut, ketimbang temen-teman yang lain, lagi-lagi ini adalah cara pandang dalam perspektif kedekatan ruang antara, tubuh-laut, identitas dalam perspektif kedekatan.

Melalui tulisan ini saya mencoba melakukan pendekatan terhadap Ethnografi-Ethnoreflika dalam realitas yang berlangsung atau menelaah peristiwa-peristiwa tubuh selama FGD berlangsung di cemeti art house, Yogyakarta, pada bulan April 2019 lalu.

Sampang, Mei 2019.