Oleh Ali Ibnu Anwar
Judul : Menyudahi Kabair | Penulis : Sayyidati Hajar | Penerbit : IRGSC, Kupang | Tebal : 100 halaman | Terbit : Mei, 2019 | ISBN : 978-602-53503-3-7
Sekian banyak prosais menulis cerpen, dengan kecenderungan: pemuatan tema, gaya bahasa, latar belakang, pengaluran, dapat dengan mudah menjadi karakter yang mudah dikenal di kemudian hari. Bahwa si A cenderung menulis dengan gaya bahasa rasa manis. Si B menulis dengan gaya bahasa rasa asin. Atau si X menulis dengan rasa nano-nano. Pastinya, itu adalah pilihan rasa yang tidak bisa dipaksakan untuk diterima oleh lain lidah. Namun, tidak menutup kemungkinan, banyak lidah ingin merasakan pilihan rasa seseorang. Bahkan sangat merindukannya. Rindu yang merah ranum. Begitu, menurut Sayyidati Hajar, untuk mengisyaratkan rindu yang layak ‘dipanen’.
Membaca kumpulan cerpen Menyudahi Kabair karya Sayyidati Hajar, seperti membaca rindu yang lain. Rindu tentang suasana kampung, yang tidak ada di kampung tempat saya tinggal, mungkin juga Anda. Rindu bahasa daerah, yang bahkan saya pun tidak menggunakannya dalam bahasa sehari-hari. Rindu kearifan budaya lokal, yang sebelumnya belum saya ketahui. Keseluruhan “makhluk asing” itu tidak memaksa saya untuk mengenalnya dengan baik. Namun dengan sendirinya, saya terbawa memasuki pintu yang sudah dipersiapkan oleh Hajar untuk mengetahui hal-hal yang belum saya ketahui, menjadi sesuatu yang harus saya ketahui dengan lebih banyak lagi.
Kumpulan cerpen dalam buku ini, dibuka dengan manis melalui cerpen berjudul Atois dan Suara-suara Duka. Di dalamnya, sangat kental dengan mitos. Tanda-tanda petaka akibat suara burung Atois, sebagaimana mitos suara kek kekkek, di kampung saya. Hanya saja, dibungkus dengan tradisi yang benar-benar berbeda, dalam bersungkawa terhadap seseorang yang tertimpa musibah kematian. Sebagaimana juga Hajar mengenalkan alaut, bagi penganut ilmu hitam (santet) di daerahnya.
Sebagian besar, cerpen yang ditulis oleh Hajar memuat persoalan-persoalan sehari-hari yang begitu hangat. Ia menulis sepi. Menulis rindu. Menulis anak yang berebut kepala ayam. Menulis toleransi. Menulis pengakuan. Menulis senyum. Menulis dosa. Segala yang ia tulis, tidak lepas dari kearifan lokal. Tentu dalam hal ini, penanda yang tepat adalah bahasa yang digunakan. Bukan persoalan mudah, menggabungkan bahasa lokal menjadi satu kesatuan penanda dan petanda yang dapat diterima. Namun, dalam hal ini Hajar mampu mengatasinya.
Gaya bahasa yang renyah, membuat pembaca tidak berasa memungut kata per kata yang begitu terasa untuk dikunyah. Seperti seorang yang sedang duduk asik, sementara tangannya memungut keripik pisang dari toples. Tanpa terasa tangan itu tidak tahu, kapan keripik terakhir menyentuh lidahnya. Prasangka saya, sebagai lulusan perguruan tinggi jurusan sastra dan bahasa, Hajar cukup matang menyerap persoalan kesastraan dan kebahasaan. Dan untuk ukuran bacaan sekali duduk, Menyudahi Kabair merupakan buku yang tepat untuk dicerna dengan gaya bahasa yang baik dan membangun.
Secara keseluruhan, pesona kumpulan cerpen Menyudahi Kabair terdapat pada konsistensi Hajar untuk menggali sedalam-dalamnya sesuatu yang ia kenal sejak lahir, untuk kemudian ia kabarkan kepada pembaca. Terdapat pertengkaran-pertengkaran alami yang disampaikan dengan jujur serta menempati porsi yang semestinya. Tidak membesar-besarkan persoalan yang memang tidak layak dibesarkan. Seperti bagaimana Hajar mesti “menyudahi kabair” dengan tidak hanya sebatas berhenti pada buku Menyudahi Kabair. Serta menyadari, bahwa tingkat kabair paling tinggi, yaitu berhenti menulis.
Ali Ibnu Anwar, penulis dan petani