Oleh Arung Whardana Elhafiefie
Ada satu catatan yang cukup mengganggu saya sepanjang percakapan hingga berakhirnya tema diskusi Setelah Teater Realis (Post Realis) di komunitas salihara pada tanggal 13 April 2019, Benny Yohanes (salah satu pemateri) dalam diskusi itu dengan makalahnya Setelah Teater Realis: Jalan Baru dan Multitemali mengemukakan empat konsep dasar pikiran atau tradisi yang menjadi perangkat baru di antaranya adalah; (1) tradisi yang bisa menjadi akar sebagai cara pengetahuan yang masuk ke dalam tubuh manusia, (2) tradisi sebagai rutinitas (pembiasaan) di mana bersifat tipologis, (3) tradisi sebagai terminal, ruang sesaat berhenti dan beranjak kembali, dan (4) tradisi sebagai jalan baru, yakni dengan puitical dramaturgy dan biografi tubuh (yang digali dari realitas tubuh). Hal yang saya garisbawahi adalah ketika menjelaskan dalam menggali biografi tubuh aktor agar bernas, maka diperlukan pengalaman puitik aktor mengintegrasikan dirinya; hanya saja belum ada metodenya. Catatan miring ini sejujurnya menarik bagi saya karena pada saat ini pun bersama dengan laboratorium inter-disiplin Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya (terdiri dari 8 kota yang berbeda) maupun beberapa personal pelaku teater Jakarta Timur seperti Abi Muhammad latif dan komunitas internalnya, tengah mencoba menemukan pintu keluar agar tidak terlalu berlama-lama ‘nyaman’ di dalamnya dan ‘suntuk’ dengan segala rutinitas (kebiasaan) yang dijalani berulang-ulang.
Sequence Pertama dalam “Kemungkinan”
I turn to anthropology, not as to a problem-solving science but because I sense a convergence of paradigms. Just as theater is anthropologizing it self, so anthropology is being theatricalized. This convergence is the historicaloccasion for all kinds of exchanges (Richard Schechner: Between Theater & Anthropologhy. Philadelphia, 1985, h.33). Pola kerja yang dilakukan Richard Schechner memandang bahwa penataan dalam antropologi sebagai teaterikal dikarenakan konvergensi paradigma; di mana setiap tubuh manusia punya tempat sejarah diri masing-masing yang menarik untuk dikemukakan ke publik, kemudian dipertentangkan ataupun dipertanyakan untuk menghasilkan tempat sejarah manusia yang baru dengan menumbuhkan semangat keakraban dalam jejaring pluralisme. Bahkan hal privat bisa sangat menarik karena pada dasarnya kedirian itu merupakan persoalan manusia meskipun tidak termasuk dalam tema-tema besar yang sering dicari atau dibahas sebagai pengkajian. Saya pun tidak mempersiapkan diri masuk pada formalisme sebuah program layaknya laboratorium, tetapi hanya mempersiapkan teks-teks interaksi manusia dari luar dan dalam ketika berada pada sebuah tempat seperti kantin belakang kampus, koridor belakang, gazebo, beranda pendopo, dan lain sebagainya di luar program yang tidak bisa dikategorikan sebuah program secara ‘umum’. Padahal itu sebagai peristiwa vs (versus) yang memberikan kemungkinan dalam interaksi sosial.
Proses interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretatif proses. Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi (Soerjono Soekanto: Suatu Pengantar Sosiologi. Jakarta, 2002, h.62). Tanpa disadari secara publik, saya sudah melakukan hidden interogation versus secara personal melalui story telling sehingga biografi tubuh cukup terbuka dimasuki (dan mempunyai celah untuk dicuri), yang kemudian dicatat secara rinci setiap personalnya dengan memberikan makna di dalamnya. Sekiranya dalam interaksi sosial itu belum terlihat betul ruang menuju pintu keluar; tentu saja melakukan peristiwa sosial kembali berdasarkan garis bawah/miring yang sudah dipersiapkan sehingga menuju pada ruang formal. Di sanalah saya mencoba mengusung pada tema-tema besar seperti isu konstruktor politik kekuasaan yang berbau busuk berujung reformasi, atau kemungkinan perang dunia di masa yang akan datang, seperti yang diungkapkan Richard Schechner ketika membicarakan reformasi India dan Inggris; From 1912 on a strong campaign was waged by Indian and British reformers to ban the devadasi system. But a counter-movement led by E. Krishna Iyer wanted to “eradicate the vice but have the art.” Opinions raged in the Madraspress, especially during 1932 as Dr. Muthulakshmi Reddi, the first woman legislator in British India, led the attack on the devadasi system while Iyerand “lawyers, writers, artists, and even the devadas is themselves joined thefray” (ibid, h.68).
Kebudayaan yang diungkapkan Schechner seperti di India Selatan, devadasi yang berarti gadis yang “mendedikasikan dirinya” untuk pemujaan dan pelayanan kepada dewa atau kuil sepanjang hidupnya. Dan kemudian, di bawah pemerintahan Inggris, istilah itu digunakan untuk semua perempuan dari segala kasta yang dipersembahkan untuk pemujaan dan pelayanan kepada dewa-dewi. Di mana hal ini mendapat serangan balasan dengan kekuatan seni dalam politik yang dipimpin oleh E. Krishna Iyer yang menimbulkan gejolak dengan melibatkan berbagai macam kalangan seperti pengacara, penulis, seniman, dan masih banyak lagi. Contoh narasi ini saya coba kemukakan berdasarkan pengetahuan mereka untuk mengulang kembali peristiwa 1998 (yang tidak ikut terlibat langsung karena pada umumnya personal laboratorium kelahiran 1996); di mana narasinya hampir sama dengan penceritaan Schechner di India dan Inggris yang menyebabkan banyak kalangan bereaksi.
Hal ini dikaitkan dengan biografi tubuh setiap personal dalam beberapa kali interaksi non formal versus; sehingga secara tidak langsung peristiwa diingatkan kembali pada suasana kantin, gazebo, pendopo, dan lain sebagainya, bukan sebuah ruang tertutup dan intern pada umumnya. Maka terjadilah interaksi biografi tubuh yang ditransaksionalkan sebagai jembatan untuk menemukan ruang pintu keluar dari biografisnya. Sebutlah dalam ruang laboratorium inter-disiplin itu terdiri sekitar delapan orang dari kota yang berbeda-beda seperti Kediri, Tuban, Lumajang, Sidoarjo, Gresik, Surabaya, Jember, dan Banyuwangi vs Bangkalan. Maka dari sana terjadi penceritaan budaya sesuai tingkah laku, bahasa, kebiasaan, tradisi dari setiap anggota laboratorium yang dipertentangkan dengan biografi tubuhnya masing-masing. Dan setiap anggota laboratorium diberikan kebebasan untuk memberikan jembatan terhadap biografi tubuhnya dengan dibuatlah diagram, keyword tubuh (biogarafi, budaya) dan akhirnya menjadi tugas bersama untuk memecahkan dalam kesempatan di ruang terbuka sekali pun, sehingga akhirnya saya memutuskan kalau kita melakukan cara kerja dengan pendekatan etnografi, di mana kami semua bertindak laku layaknya seorang etnografer. Etnografi mencari penjelasan baik aspek eksplisit budaya (bagaimana semua anggota menyadari dan menerima) elemen lainnya (di luar kesadaran). Metode ini merupakan pendekatan favorit untuk penelitian antropologi sejak 100 tahun yang lalu di mana umumnya bertujuan untuk mengidentifikasi peran, ritual-ritual dan kepercayaan pada populasi yang diteliti (Morse, 1992). Pada akhir-akhir ini etnografi sudah mulai digunakan sebagai metode penelitian pada bidang pendidikan, kesehatan dan lain-lain (Atkinson & Hammersley, 1994). Hasil dari interaksi etnografi adalah perpindahan ide-ide secara bebas dan saling bertukar informasi (Sorrell, J. & Redmond, G.: Interviews Inqualitative Nursing Research: Differing Approaches for Ethnographic and Phenomeno-Logical Studies. Journal of Advanced Nursing, 1995, h.21). Dengan cara ini sejenak saya tidak pernah melihat anggota laboratoriun inter-disiplin ini yang berlatar belakang (kemampuan) berbeda seperti koreografer, perupa, pemusik, aktor, dramaturg memperlakukan dirinya seperti cara mereka bekerja sebelumnya. Justru latar belakang ini menjadi transportasi kerja menuju seorang etnografer dalam memberikan segala kemungkinan lingkungan, manusia, sosial, foklor (tradisi), untuk melawan setiap anggota lainnya. Di mana dua orang anggota saling berinteraksi tentang tubuhnya masing-masing sehingga menghasilkan empat pertentangan budaya; semisal biografi tubuh (Lumajang vs Jember), (Gresik vs Banyuwangi), dan lainnya untuk mereposisikan budaya itu sendiri pada hasil yang memungkinkan berkaitan antara satu dengan lainnya untuk dipelajari dan dikaji secara bersama dalam setiap ruang non formal dan formal sebuah laboratorium inter-disiplin. Artinya setiap anggota sama sekali melupakan latar belakang identitas tubuhnya sebagai penulis, koreografer, aktor, penari, perupa, dan pemusik, karena terjadinya ‘tuntutan’ secara ekstrem dalam waktu tiga bulan ke depan dihadapkan adanya lokakarya/workshop sebagai etnografer. Di mana fungsi pertentangan (versus) budaya itu adalah; hadirnya peristiwa baru yang dihasilkan dalam arti kemenangan non absolute karena ujian-ujian lainnya menunggu dan mengganggu kebudayaan sebelumnya (berarti lahir dalam ketidakmapanan), atau pengujian data tubuh untuk saling mengenal antara satu dengan lainnya agar sadar hasil dari pikiran itu terus bergerak secara fluktuatif berdasarkan proses-proses dan transaksional yang diciptakan pada lingkungannya. Maka secara eksternal tubuh juga cukup mempengaruhi dan membuntuti secara ketat dalam segala kelayakan diri sebagai personal yang kuat dan tangguh dengan daya pikirnya untuk menguatkan pluralis.
Sequence Kedua dalam “Kemungkinan”
Berdasarkan wikipedia, James P. Spradley (1933-1982) adalah seorang profesor antropologi di Macalester College, telah menulis dan atau menjadi editor lebih dari dua puluh buku tentang etnografi dan riset kualitatif dalam kurun waktu dua belas tahun. Beberapa karya yang mengemuka, antara lain: The Cultural Experience: Ethnography in Complex Society, The Ethnographic Interview, Participant Observation, The Cocktail Waitress: Woman’s Work in a Man’s World, dan You Owe Yourself a Drunk: An Ethnography of Urban Nomads, semua diterbitkan oleh Waveland Press. Dia adalah salah satu antropolog budaya pertama yang mempelajari kehidupan modern di United States of America dan menerapkan dengan tegas antara konsep antropologi dan metode antropologi, untuk menjelaskan berbagai masalah kehidupan di dunia nyata seperti stres karena kerja dan tunawisma. Nama di atas sebagai tokoh etnografi yang dianggap relevan dengan pengecekan data biografi tubuh. Sementara tokoh etnografi klasik seperti EB. Taylor, James Frezer, dan LH. Morgan di mana hidupnya hanya masuk pada ruang dalam seperti perpustakaan dengan literatur-literatur; yang kemudian dikritisi oleh Radclif Brown dan Bronislaw Malinowski karena keduanya tidak terlalu memandang penting hal ihwal yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Goodenhoug, Charles O. Frake yang disebut sebagai etnografer baru juga lebih fokus memandang pendekatan manusianya, begitu juga dengan yang dilakukan James P. Spradley mengacu pada biografi tubuh manusia di lingkungan tertentu, hubungan interaksi, sosial, pekerjaan, kausalitas, dan dampak dari lingkungannya. Maka akhirnya pandangan James P. Spradley dari sekian banyak etnografer diputuskan menjadi literatur utama (selain etnografer Indonesia seperti Koenjaraningrat, Kuntowijoyo) sebagai langkah kerja untuk menghasilkan ‘kemungkinan’ tersebut. Tetapi di hubungan kolaborasi lainnya; bisa memungkinkan menggunakan pandangan lainnya sesuai dengan kebutuhan. Hal ini ditentukan sebagai cara mempermudah saja untuk mendekatkan pintu keluarnya.
Menurut Creswell (2012): penelitian etnografi merupakan salah satu strategi penelitian kualitatif yang di dalamnya peneliti menyelidiki suatu kelompok kebudayaan di lingkungan yang alamiah dalam periode waktu yang cukup lama dalam pengumpulan data utama, data observasi, dan data wawancara. Spradley (dalam Batuadji, 2009) menjelaskan etnografi sebagai deskripsi atas suatu kebudayaan, untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Lebih lanjut, Spradley (dalam Batuadji, 2009) menjelaskan bahwa dalam penelitian etnografi terjadi sebuah proses, di mana suatu kebudayaan mempelajari kebudayaan lain, untuk membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai kebudayaan dari perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan tersebut. Dalam hal ini, etnografi menekankan pentingnya peran sentral budaya dalam memahami cara hidup kelompok yang diteliti (Kristianto Batuadji: Studi Etnografis Tentang well-being Pada Warga Ashram Gandhi Etnis Bali. Yogyakarta, 2009). Maka berdasarkan cara kerjanya; saya coba memfokuskan untuk membongkar pandangan hidup secara personal untuk menyelesaikan pengganggu dalam pikirannya belakangan ini. Sehingga perpaduan solusi masing-masing personal dengan pandangan hidup itu lahir sebuah sikap dalam biografi tubuhnya. Tujuan besarnya dalam proses training ini memang menemukan pintu keluar dari biografi pikiran terhadap lingkungannya masing-masing; hingga melebar (dari versus) ke masing-masing personal memberikan tambahan masukan dalam menyelesaikan pintu keluar tersebut. Ibaratnya rumah ketika pintu keluar sudah ditemukan, maka perlu ruang penghubung agar sampai pada hal tersebut. Apakah sebuah ruang tamu dulu, atau ruang depan, atau langsung berhubungan dengan kamar yang tidak terjadi pada umumnya sebagai arsitektural; yang juga patut dicoba sebagai eksprimen. Artinya problem solving juga patut dikejar secara bersama sehingga catatan-catatan diskusi dan temuan menjadi penting ditransaksikan antara satu dengan lainnya untuk saling mencari titik celahnya dari biografi tubuhnya. Karenanya saya coba menyebutnya dengan istilah etnoteaterikal yakni menghubungkan dan menggabungkan kerja etnografer dalam teater sebagai cara kerja yang dispesifikasi dari teater lingkungan Richard Schechner lewat beberapa workshop.
Saya pun me-review dari literatur Spradley (1997) mengungkapkan beberapa tujuan penelitian etnografi, sebagai berikut: (1) untuk memahami ikatan budaya manusia dengan menawarkan suatu strategi yang baik demi perkembangan biografi tubuhnya bebas dari kompleksitas, dan (2) etnografi ditujukan sebagai problem solving manusia dalam biografisnya. Namun saya menggarisbawahi bahwa setiap problem solving juga tidak harus clear (biografi terus dinamis); utamanya adalah dalam biografi tubuh mampu membuka diri dalam pikirannya untuk menemukan strategi tubuhnya dalam menghadapi keakraban lingkungan hidupnya. Biografi tubuh pun juga memiliki pilihan yang paling memungkinkan untuk dibocorkan sesuai dengan intrinsik dan ekstrinsiknya; bisa hanya sebatas keluarga, karakterisitik tubuh dengan lingkungannya, hubungan sosial di lingkungan yang lebih luas, atau privat seksual yang mungkin dianggap menarik sebagai pilihan dan nyaman dikemukakan di hadapan publik demi sebuah perubahan sikap/perilaku yang menarik untuk diteliti dan dianalisis kembali. Pada dasarnya problem solving di sini melalui versus untuk mengingatkan kemenangan dan dan kekalahan daya pikir manusia bukanlah sebuah kemutlakan, tetapi lebih menunjukkan pada buah proses dari cara berpikir manusia melalui literatur, kepekaan, sikap, visi dan misi, maupun dramatisasi tubuh terhadap diri dan lingkungannya.
Secara tidak langsung saya (versus) dengan anggota laboratorium inter-disiplin Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya maupun komunitas internalnya seorang kawan di Jakarta Timur, Abi Muhammad Latif, sudah menjadi peneliti-yang diteliti (observasi) selama tiga bulan; yang bisa dilakukan dengan observasi partisipan-non partisipan, observasi sistematik-non sistematik, observasi eksprimental-non eksprimental, penanya-yang ditanya (interview), di mana semua metodologi ini sebagai cara kerja dalam etnografi. Karena memang studi biografi tubuh merupakan langkah eksprimen dengan segala praktiknya yang saya lakukan selama ini; kemungkinan-kemungkinan dalam etnografi juga melakukan dengan cara eksprimen, dan literatur yang ada sebagai pedoman atau pegangan dalam menguji eksprimentasi kerja etnografi yang dilakukan di lapangan dalam (frame kecil) biografi tubuh di mana kerangka besarnya sebagai latar belakang untuk mendukung kausalitas hubungan tubuh dengan lingkungan dan problematikanya.
Sequence Ketiga dalam “Kemungkinan”
Menggali ingatan kembali bahwa Richard Schechner membuat lingkungan sebagai jejaringnya dengan enam aksioma: (1) teater merupakan serangkaian transaksi yang saling berkaitan dari berbagai macam kalangan, (2) lingkungan menjadi hubungan teater dengan pertunjukan, (3) ruang publik menjadi sumber kreativitas dalam sebuah pertunjukan, (4) keterikatan masyarakat dengan pertunjukan, (5) pertentangan seluruh elemen pertunjukan yang diberlakukan, dan (6) naskah drama bukan menjadi dasar bagi pertunjukan teater. Keenam aksioma ini sebagai pijakan kerja dalam praktik etnografi (biografi tubuh). Catatan yang paling signifikan pada praktik ini lebih memfokuskan pada persoalan tubuh manusianya atau spesifikasi dari seperangkat tubuh yang ditimbulkan dari lingkungan. Saya melihat bahwa penekanan Richard Schechner; bertentangannya data dari luar yang masuk pada lingkungan secara global, tetapi luput mengelola tubuh lingkungannya. Hal ini yang coba ditegangkan secara individualistik dari problem lingkungan melalui biografi yang memerlukan pemulihan diri, penyelesaian krisis identitas, dan penguatan kembali mental individualnya dengan segala macam ‘kemungkinan’. Richard Schechner menguraikan: what happens at workshops like this is not only a deconstruction of the text and narrative of the play being done (if one is doing a literary text) but also a parallel deconstruction of the lives of the performers. The four-phase “social drama” process developed by Turner (working from Van Gennep) applies to the workshop-rehearsal-performance sequence. Turner says that social dramas follow a sequence of breach, crisis, redressive action, and reintegration or schism (ibid, h.287).
Drama sosial yang diungkapkan Victor Turner pada Richard Schechner sebagai gambaran objek yaitu manusia dengan mengalami pelanggaran, pengasingan, gangguan kejiwaan, perlawanan kodrat, dan lain sebagainya. Maka yang harus diselesaikan terlebih dulu adalah manusia secara biografisnya. Lingkungan hanya pemicu yang melatarbelakangi adanya tegangan dalam personalitasnya untuk menemukan ruang masuk sebelum pintu keluar betul-betul terbuka. Proses dekonstruksi setiap biografi pemain bisa dilakukan dalam beberapa workshop (lokakarya) untuk menawarkan gejala problematika yang dialami setiap personalnya sekaligus mengumpulkan tanda-tanda/semiotik dari setiap lokakarya tersebut. Terjadinya saling tumpang tindih antara ‘ruang masuk’ satu dengan lainnya juga semakin ketat dipertentangkan dengan dikontrol seseorang yang tepat sesuai kesepakatan. Seseorang ini bisa hadir sesuai dengan kebutuhan biografis gangguan personal. Misalnya seorang psikolog/psikiater menjadi transportasi (versus) bagi biografi yang terperangkap masalah jiwa, atau seorang seksologi menjadi transportasi (versus) bagi biografi yang kelainan seks, atau seorang arsitektur menjadi transportasi bagi biografi yang terperangkap pada gangguan ruang, bahkan seorang dokter (versus) yang menjembatani biografi tubuhnya dengan penyakit-penyakit yang dideritanya. Transportasi yang dihadirkan ini secara berkesinambungan bukan hal mutlak untuk bertransformasi bagi manusia lokakarya, tetapi hanya sebagai difusi material yang sekiranya patut diketahui demi problem solving dimaksud di atas; karena dirinya bersifat inisiasi dari upacara yang dilakukan berulang-ulang.
Transformation performances are clearly evidenced in initiation rites,whose very purpose it is to transform people from one status or social identity to another. An initiation not only marks a change but is itself the means by which persons achieve their new selves: no performance, no change (Richard Schechner, ibid, h.127). Perubahan manusia dari satu identitas ke status lainnya yang diinisiasi tersebut bukan hanya menghasilkan kebaharuan identitas. Kemungkinan dan proses workshop transportasi, transformasi, inisiasi ataupun difusi juga tidak berjalan sempurna karena kuatnya egosentris dalam tubuh biografisnya, yang akhirnya teater terus berlanjut dan bergerak sesuai dengan reaksi yang ditimbulkan. Bisa mungkin psikisnya semakin terganggu atau tidak memiliki problem solving yang signifikan. Hal itu bukan berarti kegagalan dalam melakukan aktivitas etnografi; tetapi justru semakin menguji dengan cara kerja yang memungkinkan lahir metode-metode lain sesuai praktiknya di lapangan. Jelaslah praktik kerja setiap anggota laboratorium berupa reportase-reportase selama workshop, transaksional, pembongkaran, pengujian, dan problem solving menuju pintu keluar. Kemudian setiap personal wajib melakukan hidden interogation pada orang-orang terdekat seperti keluarga (kedua orang tua, istri, sahabat, kekasih, dll), orang-orang yang menyebabkan masalah, para pendukung dari terjadinya masalah tersebut, dan orang-orang tidak terduga ditemukan dalam praktik lapangan. Dan hasilnya coba dipertentangkan (versus) dengan saya dalam membaca keseluruhan problem yang sedang diupayakan (bersama psikolog/psikiater/dokter, dll) dalam waktu tiga bulan lamanya. Kumpulan data-data tersebut semacam catatan etnografi yang wajib diuji kelayakannya melalui beberapa penguji yang dinilai tepat dalam proses inter-disiplin tersebut tanpa mengetahui terlebih dahulu peristiwa apa yang sedang dipersiapkan. Intinya masing anggota inter-disipliner berjalan sebagai etnografer dengan cara pendekatan eksprimen sebelum menuju praktik visual lingkungan.
Sequence Keempat dalam “Kemungkinan”
My model of transportation/transformation performance is open. It can be applied across cultures and genres. I have already applied it to the initiation rites of Gahuku boys in Papua New Guinea. And presently I will apply it to a few more kinds of performances, selected not only to be representative but also because I have had some personal experience with most of them. In the Greek case, obviously I wasn’t around in the fifth century B.C., but I have directed versions of Euripides’ Bacchae, Sophocles’ Philoctetes, and Sophocles’/Seneca’s Oedipus (Richard Schechner, ibid, h.133). Kutipan tersebut menunjukkan keterbukaan model pertunjukan Richard Schechner dengan mentransportasi dan mentransformasi sebagai terapan lintas budaya yang sudah dilakukannya seperti di Papua Nugini, di mana fokus inisiasinya adalah Gahuku, termasuk praktik kerjanya juga bisa digunakan pada teks-teks Yunani. Hanya saja catatan saya adalah lingkungan yang dijadikan sebagai cara bersikap personal nampaknya kurang mengalami sublimasi secara natural setiap aktornya sekalipun lokakarya dan latihan yang ketat. Karena itu cara biografi tubuh sebagai indikator pelacakan diri (kedirian) yang lahir dan tumbuh berkembang pada kebudayaan tertentu, yang kemudian realitasnya mengalami pertumbuhan di kebudayaan berbeda pula sehingga terjadi peleburan dua kebudayaan, bahkan tiga kebudayaan sekaligus. Biografi tubuh itu masuk pada kebudayaan-kebudayaan yang sudah dicatatnya maupun ditransaksikan ataupun menemukan problem solving, termasuk menemukan hasil pertentangan dari kebudayaan setiap anggota dengan cara personal versus personal maupun personal vs kegotongroyongan personal.
Di dalam sequence ini; saya dan teman-teman inter-disiplin lebih banyak melakukan praktik visual dalam jangka waktu sekitar tiga bulan lamanya. Setiap personal sudah memiliki catatan etnografi masing-masing akibat personal vs personal di mana sudah memiliki ruang masing-masing menuju pintu keluar atas permasalahan biografinya. Setiap personal tentu saja memiliki sembilan catatan etnografi. Maka praktik visual pertama yang dilakukan adalah; (1) praktik budaya visual personal; ini dilakukan di sembilan lingkungan kebudayaan (rumah kecilnya) dengan bermukim dan melakukan training di publik terbuka, (2) membongkar pasang visual masih dalam kasus versus (pertentangan) penanda yang diciptakan berdasarkan catatan-catatan personal selama beberapa bulan/sesuai timeline yang direncanakan (sembilan bulan), (3) perangsang (pemantik) melakukan interogasi visual lingkungan, (4) anggota inter disiplin vs perangsang (pemantik) dalam membangun visual biografi untuk mengasilkan visual budaya yang baru, dan (5) bedah visual selama seminggu berturut-turut secara wacana menuju proses uji kelayakan di depan penguji yang bukan sebenarnya (misalnya praktisi, orang-orang di luar seni dan tumbuh di tempat pertunjukan berlangsung, kritikus).
Sequence Kelima dalam “Kemungkinan”
Maharaja and Ramayanis: Shiva vs Tulsidas, Valmiki, and the Great vs Tradition. The Varanasi vs side Stillness: murtis, arati, “stations” vs Town space vs Present historical time vs Mela (fair ground and market place) vs Rama, Sita, and the other swarups and sadhus: Vishnu Samvads, bhajans, and the Little Traditions East bank of Ganga, the Ramnagar side Movement: processions, pilgrimage, exile, flow Theater space Time of the Ramlila story Lila (theater and dance). These oppositions—and there are more—are not mutually exclusive orhostile to one another. They complement each other, constructing among themselves a vision of the world that is whole. For example, the maharaja exists in the field of energy created by Rama; and Rama exists as arranged for by the maharaja—not any Rama but the Rama of Ramnagar Ramlila, a Rama who has auditioned for the maharaja, who is paid more than a token, less than a wage after the month of performing is over. For his part, the maharaja is in a way a fictional character (Richard Schechner, ibid, h.157). Pernyataan tersebut membuat saya memberikan catatan bahwa perlawanan/pertentangan ini bukan berdiri pada dirinya sendiri secara eksklusif, tetapi justru sesungguhnya pertentangan itu menciptakan hasil yang tidak saling bergantung antara satu dengan lainnya. Bahkan saling melengkapi untuk mewujudkan visi dan misi keduniaan yang utuh, di mana setiap karakter saling memiliki energi yang kuat sehingga pertunjukan memiliki daya hidup yang kuat pula.
Kegiatan yang dilakukan secara berkala seperti proses dalam setiap ritus, ziarah, mengarungi aliran air sungai, dan mengasingkan tubuh dari setiap lingkungannya juga sebagai yang (saya) dan setiap anggota inter-disiplin lakukan tanpa memberikan benteng/nama sebuah pertunjukan apakah nantinya disebut rupa, teater, tari, sastra, atau film segalanya memberikan kemungkinan karena delapan anggota inter-disiplin yang bertentangan (vs) dengan saya secara berpikir, biografi, hingga budaya sudah bertransaksional visi dan misi keberadaannya. Selain itu kembali saya menggarisbawahi bahwa tidak adanya pretensi jabatan, apakah itu sutradara, dramaturg, perupa, penari, koreografer, yang akhirnya mereka sadar secara pelan-pelan kalau kami semua sedang melakukan penelitian, bertindak sebagai etnografer dengan pendekatan-pendekatan eksprimental. Kami semua sedang menjadi sutradara, dramaturg, penari, aktor, perupa, bagi tubuh sendiri dan orang lain agar semakin menguatkan tradisi pluralis dari ragam budaya setiap personal. Dan ketika sudah bersepakat dengan hasil (problem solving) yang sedang terjadi menjelang waktu pertunjukan, karena itu melakukan uji kelayakan sebanyak enam kali (sekitar enam bulan lebih waktunya dalam uji kelayakan tersebut, termasuk ujian akhir jika nantinya karya ini dipanggungkan sebagai tugas akhir akademis).
Uji kelayakan nantinya yang hendak dilakukan sesuai kesepakatan akan memetakan dalam keterlibatan di antaranya; (1) lingkungan tempat pertunjukan terdiri dari sesepuh, ketua RT/RW, bapak/ibu rumah tangga, remaja setempat di luar wilayah kesenian, pelaku seni setempat/budayawan, dan (2) di luar lingkungan tempat pertunjukan terdiri dari praktisi seni, kritikus seni, kurator, etnografer, dan founder pertunjukan. Tujuan dari uji kelayakan tersebut memberikan ruang-ruang lebih jelas untuk menuju pintu keluar, terkadang tanda-tanda visual budaya dari biografi yang sudah disusun oleh saya vs anggota inter-disiplin masih gelap pembacaannya baik itu dari teks rupa, arsitektural, artistik, desain industri, maupun penanda-penanda virtual lainnya yang selalu berjarak dengan orang-orang di sekelilingnya. Hal ini bukan untuk mewujudkan aksioma yang absolut, tetapi lebih meminimalisir kegelapan di setiap ruang versus tersebut, yang akhirnya versus ini terus berlanjut menjadi (anggota inter-disiplin vs perangsang) vs penguji kelayakan/penguji sidang tugas akhir = hasil versus (vs penonton pertunjukan) = dialektika biografi tubuh yang tidak dieksklusifkan dan dikerangkeng secara ketat dan terjaga. Kelima sequence ini hanya sebagai kemungkinan pemanggungan (performance dalam performing) dalam menghubungkan dan menggabungkan etnografi dengan inter-disiplin untuk menghasilkan budaya baru lewat biografi setiap tubuh; dengan tujuan membongkar eksklusifitas dan privasi tubuh agar terjadi kemandirian, ketangguhan sikap, kekuatan mental, daya juang secara personal, di mana hakikatnya saling menyadari kekuatan manusia itu memiliki batasan berpikir, perlu rangsangan dari luar, bahkan sebagai biografi tubuh agar lebih berkembang dan menyadari prosesi dari setiap langkah yang dijalani dengan pendekatan etnografi begitu pelik dan rumit. Namun metodologi yang sudah disusun ini bukan hal yang mutlak dan hakiki dengan totalitas satu tahun setengah; hanya berada dalam perencanaan sequence keempat di mana sequence kelima belum dijalani (setengah tahunnya), perlunya catatan ini diberikan catatan-catatan kritis sehingga menjadi koreksi kerja untuk mewujudkan peristiwa dalam menguatkan pluralisme dalam satu ikatan manusia yang secara tidak langsung ditakdirkan sebagai versus, bukan adalah, maka sekali lagi diperlukan koreksi dalam memberikan segala kemungkinan yang hendak dilaksanakan sesuai waktu yang ditentukan.