Oleh Arung Whardana Elhafifie
Pendahuluan
Pertunjukan ini baru akan berlangsung pada 9 Juli 2019 pukul 20:00 WIB di lobby Graha Bakti Budaya, TIM dalam helatan Djakarta Teater Platform 2019 yang diselenggarakan oleh Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo), British Council, Japan Foundation, dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dengan tema “Kekuasaan dan Ketakutan” yang berlangsung pada tanggal 8-20 Juli 2019 di gedung Graha Bakti Budaya, TIM, dan Teater Luwes IKJ. Sejujurnya saya tidak terlalu percaya diri menulis ini; tetapi sangat terpaksa dilakukan untuk menghindari diskusi dengan senior, sahabat yang pernah sehari latihan bersama di teater kubur Dindon WS pada tahun 2001 lalu, setelahnya saya tidak pernah latihan lagi karena ketimpangan tubuh dan kejiwaan saya yang kurang memadai berada di sana (huahaha). Entah karena apa saya dikirimkan melalui whatsapp ploting sementara dan keinginan/proyeksi latar pertunjukannya yang tentunya sudah berhari-hari melakukan proses, sementara saya hanya menyaksikan sekali saja di awal-awal proses. Lagi-lagi hanya sekali yang membuat saya semakin tidak percaya diri; bahkan menulis pun juga tidak memiliki kepercayaan diri yang lebih layaknya tidur berjam-jam. Hidupnya cuma sekali, sekali, dan sekali. Karenanya saya coba tetap dengan segala keberanian dan kenekatannya untuk menulis sebagai alibi ketika tidak dipertemukan oleh semesta untuk berdiskusi. Karena dari awal saya memahami latihannya menerapkan metodeloginya Richard Schechner; maka saya yang sok berani waktu ujian tugas akhir penciptaan teater S1 (STKW Surabaya) menggunakan metodelogi teater lingkungan Richard Schechner, dan kini menuju penciptaan seni minat teater S2 menginterpretasi dari teater lingkungannya Richard Schechner (kalau lancar), maka saya coba dengan “sok tahu” juga hanya menuliskan sekitar tiga catatan yang paling utama mengacu pada tulisan yang dikirimkannya kepada saya.
Catatan Pertama; Subjek Baru Pengetahuan dalam Ritual Kekuasaan
Jon McKenzie; Performance is a new subject of knowledge [. . .P]erformance will be to the 20th and 21st centuries what discipline was to the 18th and 19th, that is, an onto-historical formation of power and knowledge [italics in original]. [. . .] Like discipline, performance produces a new subject of knowledge, though one quite different from that produced under the regime of panoptic surveillance. Hyphenated identities, transgendered bodies, digital avatars, the Human Genome Project – these suggest that the performative subject is constructed as fragmented rather than unified, decentered rather than centered, virtual as well as actual. Similarly, performative objects are unstable rather than fixed, simulated rather than real. They do not occupy a single, “proper” place in knowledge; there is no such thing as the thing-in-it self. 2001, Perform Or Else, 18 (Richard Schechner: Performance Studies an Introduction, third edition. New York, 2013, hal.27). Jhon McKenzie; pengarang, seorang profesor pertunjukan di Cornell University, Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa performance itu sebuah kinerja/cara berpraktik adalah subjek baru pengetahuan yang berkembang dan juga dipengaruhi oleh formasi kekuasaan dan pengetahuan. Saya melihat bahwa cara berpikir manusia di dalam sebuah pertunjukan menghasilkan subjek pengetahuan baru seperti yang dikatakannya, meskipun satu sangat berbeda dari yang dihasilkan di bawah rezim pengawasan panoptik. Dan kini kekuasan dan ketakutan yang saya lihat menyerupai Jhon Mckenzie lihat dan tatap seperti tubuh transgender, avatar digital, Proyek Genom Manusia, Apartemen Anti Kiamat, Kloning – ini menunjukkan bahwa subjek performatif dibangun sebagai bagian yang terpecah-pecah, tidak terpusat, terpusat dari pada terpusat, virtual maupun aktual. Jadi tidak bisa diartikan story telling di atas panggung. Demikian pula, objek performatif tidak stabil dari pada diperbaiki, disimulasikan dari pada nyata. Mereka tidak menempati satu tempat, tempat yang “layak” dalam pengetahuan; tidak ada yang namanya benda dalam dirinya, sehingga performer harus menyadari gagasan dalam kepalanya merupakan ilmu pengetahuan bagi lingkungannya.
Karena itu sebuah kewajaran ketika Bambang Prihadi selaku penggagas dalam pertunjukan nantinya tidak pernah puas dengan pertunjukan (seni) yang digelar di panggung prosenium. Baginya merupakan pengalaman yang membawa pada banyak pertanyaan. Pasalnya, hampir semua pertunjukan yang disaksikannya di prosenium membuatnya selalu tertidur, kehilangan konsentrasi, merasa berjarak, kaku dan terasing. Apalagi menurutnya kebiasaan penonton belakangan ini lebih suka mengabadikan pertunjukan di handphone mereka dari pada menikmatinya secara langsung. Jadilah interupsi cahaya handpone pada ruang gelap penonton. Maka sangat mutlak jika penonton pertunjukan diingatkan dengan gagasan yang mampu menguasai diri mereka sekaligus menakutkan agar otak mereka bekerja dengan keras. Namun yang patut digarisbawahi lagi adalah persoalan kelahiran kita sebagai manusia dalam kekuasaan itu sendiri seperti;
The long infancy and childhood specific to the human species is an extended period of training and rehearsal for the successful performance of adult life. “Graduation” in to adulthood is marked in many cultures by initiation rites. But even before adulthood some persons more comfortably adapt to the life they live than others who resist or rebel. Most people live the tension between acceptance andrebellion. The activities of public life – sometimes calm, sometimes full of turmoil; sometimes visible, sometimes masked – are collective performances. These activities range from sanctioned politics through to street demonstrations and other forms of protest, and on to revolution. The performers of these actions intend to change things, to maintain the status quo, or, most commonly, to find or make some common ground (Richard Schechner: Performance Studies an Introduction, third edition. New York, 2013, hal.28). Merujuk kutipan tersebut; saya menggarisbawahi kuasa manusia yang bisa diwujudkan ke dalam pertunjukan dimulai dari masa bayi yang panjang dan masa kanak-kanak khusus untuk spesies manusia adalah periode pelatihan yang panjang dan latihan untuk keberhasilan kinerja kehidupan orang dewasa. Nampak seperti kita menyelesaikan wisuda sebagai remaja menjadi dewasa dengan penandaan beragam budaya oleh upacara inisiasi. Upacara-upacara setiap manusia layaknya menjadi catatan penting bagi performer dalam sebuah pertunjukan dengan tanda-tanda yang terlihat pakem dan turun temurun. Realitasnya seperti yang diungkapkan Schechner sebelum beranjak menuju masa dewasa, beberapa orang lebih nyaman beradaptasi dengan kehidupan yang mereka jalani dari pada orang lain yang menolak atau memberontak. Ini sangat penting dikaji dalam hakikat setiap performer untuk menyelidiki dirinya secara jujur dengan penolakan atau pemberontakan tersebut. Di mana kebanyakan orang hidup dalam ketegangan antara penerimaan dan penolakan layaknya kegiatan dalam kehidupan publik – terkadang tenang, kadang penuh gejolak; terkadang terlihat, terkadang bertopeng – adalah pertunjukan kolektif. Di sinilah setiap performer melacak ulang kegelisahan Bambang Prihadi dalam kebekuan dan kekuasaannya agar dibongkar secara gamblang biar tidak menjadi bias topeng hanya sekadar menjalani rutinitas pertunjukan; karena itu jelas bukan kinerja. Seharusnya performer menyerupai sekelompok manusia dalam kegiatan-kegiatan ini berkisar dari politik yang disetujui hingga demonstrasi jalanan dan bentuk-bentuk protes lainnya, hingga revolusi. Para pelaku tindakan ini berniat mengubah berbagai hal, mempertahankan status quo, atau, paling umum, menemukan atau membuat landasan bersama. Demikian halnya dengan penolakan dan penerimaan terhadap subjektivitas prosenium dan arena.
Penolakan dan penerimaan itu juga secara tidak langsung menguasai pikiran Bambang Prihadi melalui tulisannya; Seiring waktu, ada rekaan dan asumsi yang muncul dari kesan yang tertanam di bawah sadar saya. Apakah karena kebanyakan kreator dan performer tak mengenali dengan baik ruang prosenium itu, sehingga tak mampu “menundukkan” atau bersinergi dengannya? Atau memang soal stamina saya saja yang selalu drop tepat ketika menyaksikan pertunjukkan? Atau ada hal lain terkait dengan interior ruangan serta relasinya dengan pihak terkait? Kekuasaan misalnya atau kepentingan sejarah yang melatarinya? Tentunya hal itu sangat subjektif. Tetapi kemudian muncul rasa tidak akrab yang terus terbawa dalam diri, sehingga saya tak pernah punya greget untuk mau menyelenggarakan karya pertunjukkan di panggung prosenium. Namun belakangan saya mulai menyikapinya sebagai sebuah tantangan, hingga ketika menerima undangan komite teater DKJ untuk mengikuti Forum Jakarta Teater Platform yang rencananya akan dihela di Graha Bhakti Budaya pada bulan Juli 2019. Karenanya, ingatan dan kesan atas ketidakpuasan itu bermunculan kembali. Saya melihat bahwa kesemuannya manusia sudah terjebak dengan penandaan ritus-ritus sosial, sehingga menjadi ritual-ritual yang terselenggara dengan cara berkesinambungan setiap program dalam waktu yang diinginkan, termasuk salah satunya program yang masuk menguasai Lab. Teater Ciputat.
Rituals are more than structures and functions; they are also among the most powerful experiences life has to offer.While in a liminal state, people are freed from the demands of daily life.They feel at one with their comrades; personal and social differences are set aside. People are uplifted, swept away, taken over. Victor Turner; A total, unmediated relationship In liminality, communitas tends to characterize relationships between those jointly undergoing ritual transition. The bonds of communitas are antistructural in the sense that they are undifferentiated, equalitarian, direct, extant, nonrational, existential, I-Thou relationships. Communitas is spontaneous, immediate, concrete – it is not shaped by norms, it is notinstitutionalized, it is not abstract. (Richard Schechner: Performance Studies an Introduction, third edition. New York, 2013, hal.70-71). Saya juga melihat bahwa Ritual lebih dari sekadar struktur dan fungsi; di antara pengalaman paling kuat yang ditawarkan dalam kehidupan. Sementara dalam keadaan terbatas, orang-orang dibebaskan dari tuntutan kehidupan sehari-hari termasuk pada ritus festival atau parade teater khususnya. Otomatis drama sosial yang terjadi di antara mereka dilupakan sejenak untuk melihat panggung prosenium terwujud pada sebuah hajat. Mereka merasa menyatu dengan rekan-rekan sesama isan seni pertunjukan; perbedaan pribadi dan sosial dikesampingkan, tetapi visi dalam berkesenian tetaplah dinarasikan. Pembacaan ini juga didukung Victor Turner; yang menganggap bahwa Hubungan total dan tanpa perantara dalam liminalitas, komunitas cenderung menggambarkan hubungan antara mereka yang bersama-sama menjalani transisi ritual. Ikatan komunitas bersifat anti struktural dalam arti bahwa mereka tidak dibedakan, setara, langsung, masih ada, tidak rasional, eksistensial, hubungan saya dengan Engkau. Saya dengan penguasa. Komunitas bersifat spontan, langsung, konkret – tidak dibentuk oleh norma-norma, tidak dilembagakan, tidak abstrak. Meskipun kenyataannya tetap tidak bisa lepas dari kuasa. Performer harus cermat betul melakukan pembacaan ritus itu sebagai bentuk kekuasaan yang dijadikan subjek pengetahuan.
Bambang Prihadi menambakan dalam teksnya; Pembangunan pusat kesenian Jakarta tidak bisa lepas dari kepentingan kekuasaan. Satu sisi, pemerintah memfasilitasi dengan cara melokalisasi kegiatan kesenian secara intensif dan sistematis. Namun di sisi lain lain, seniman dan masyarakat kesenian dengan mudah dikontrol oleh pemerintah yang sedikit banyaknya dapat mempengaruhi proses penciptaan karya dan hubungam keduanya. Kepentingan kekuasaan yang mempengaruhi hal tersebut, sangat terasa pada bangunan gedung pertunjukan dengan bentuk panggung prosenium, seperti gedung Graha Bhakti Budaya yang dibangun pada masa orde baru oleh Gubernur Tjokropranolo. Juga Gedung Kesenian Jakarta yang difungsikan kembali dan diresmikan oleh Gubernur Suprapto. Karenanya saya melihat bagaimana graha bakti budaya menjadi skala ritus; sebagai upacara inisiasi dari kekuasaan yang disusun secara struktus, kemudian yang bisa diberontak atau ditolak dengan mengacaukan seni melalui anti struktural.
Catatan Kedua; Transportasi & Transformasi yang Terbuka Kemungkinan Lain
I call performances where performers are changed “transformations” and those where performers are returned to their starting places “transportations”—”transportation,” because during the performance the performers are “taken some where” but at the end, often assisted by others, they are “cooled down” and reenter ordinary life just about where they went. The performer goes from the “ordinary world” to the “performative world, “from one time/space reference to another, from one personality to one or more others. He plays a character, battles demons, goes into trance, travels to the sky or under the sea or earth: he is transformed, enabled to do things “in performance” he cannot do ordinarily. But when the performance is over, or even as a final phase of the performance, he returns to where he started (Richard Schechner: Between Theater & Anthropologhy. Philadelphia, 1985, hal. 126). Schechner menyebut pertunjukan di mana pemain diubah “transformasi” dan di mana pemain dikembalikan ke tempat awal mereka “transportasi” – “transportasi,” karena selama pertunjukan para pemain “dibawa ke suatu tempat” tetapi pada akhirnya, sering kali dibantu oleh orang lain , mereka “didinginkan” dan masuk kembali ke kehidupan biasa di mana mereka pergi. Pelaku beralih dari “dunia biasa” ke “dunia performatif”, dari satu referensi ruang/waktu ke ruang lain, dari satu kepribadian ke satu atau lebih kepribadian lainnya. Saya mencatat perpindahan yang tidak terukur dan dihitung secara matang merupakan bagian dari maksudnya Schechner dalam kekacauan seni, penolakan dan penerimaan untuk menguji dari eksprimennya. Khususnya Bambang Prihadi dalam penerimaan dan penolakan prosenium; di antaranya. Maka perpindahan itu juga dalam memerankan tokoh, mengkritik, menarasikan, mendeskripsikan, memerangi sikap kekuasaan, bahkan berperang dengan iblis sekalipun hingga masuk ke trance penting rasanya dicatat, karena dia sebagai pintu untuk melakukan perjalanan ke “langit” atau di “bawah laut” atau “bumi”: ia ditransformasikan, dimungkinkan untuk melakukan hal-hal “tidak berkinerja” yang tidak dapat ia lakukan secara normal. Penting performer menonaktifkan seluruh indranya tidak bekerja dan pasif seketika untuk menghubungkan antara transportasi dan transformasi yang bisa mewujudkan cara lainnya. Tetapi ketika pertunjukan berakhir, atau bahkan sebagai fase akhir pertunjukan, ia kembali ke tempat ia memulai dan hal ini tidak akan mungkin bisa dilakukan secara prosenium yang bebas dalam pemanggungannya.
Panggung prosenium dinilai Bambang Prihadi menyerupai bingkai raksasa, dalam sejarah berdirinya telah membuat dialog satu arah dan pembatasan yang jelas antara penampil dan penonton. Antara dunia fiksi dan nyata. Antara subjek dan objek. Di antara itu, ada garis tegas yang terbangun untuk membatasi hubungan keduanya. Membangun hubungan formil dan sikap kaku. Membatasi rasa ingin tahu satu sama lain lebih dari sekedar tampak permukaan. Membatasi impian dan harapan bersama. Membuat pandangan hidup masyarakat semakin individualistik. Pembatasan ruang berarti mencukupkan dan atau menafikan “dapur” yang adalah sisi kemanusiaan keduanya; Latar belakang atau jejak rekamnya. Saya melihat kerelevanan untuk mewujdkan batas-batas di antara kekuasaan manusia itu bisa diwujudkan dalam transformasi dalam pertunjukannya.
Transformation performances are clearly evidenced in initiation rites, whose very purpose it is to transform people from one status or social identity to another. An initiation not only marks a change but is it self the means by which persons achieve their new selves: no performance, no change. In The High Valley Kenneth E. Read tells how a Papua New Guinea boy, Asemo, was taken from his mother’s home, secluded in the bush for several weeks, put through initiatory ordeals and training with his age-mates, and finally brought back to his village (along with his age-mates) transformed into a man. Read lets us know that the underlying action of the initiation is performative. To give but two examples, after two weeks of seclusion the boys are brought back to Susuroka (Richard Schechner: Between Theater & Anthropologhy. Philadelphia, 1985, hal. 127). Schechner menjelaskan bahwa pertunjukan transformasi jelas dibuktikan dalam upacara inisiasi, yang tujuannya adalah mengubah orang dari satu status atau identitas sosial ke status lainnya. Inisiasi tidak hanya menandai suatu perubahan tetapi apakah ia sendiri sarana yang dengannya orang mencapai diri mereka yang baru: tidak ada kinerja, tidak ada perubahan. Di Lembah Tinggi, Kenneth E. Read menceritakan bagaimana seorang anak lelaki Papua Nugini, Asemo, diambil dari rumah ibunya, diasingkan di semak-semak selama beberapa minggu, menjalani cobaan inisiasi dan pelatihan dengan teman seusianya, dan akhirnya dibawa kembali ke desanya (bersama dengan teman seusianya) berubah menjadi seorang pria. Saya akhirnya bersepakat dalam pertunjukan itu proses inisiasi sebaiknya bisa diberlakukan, caranya adalah performatif yang cenderung mengubah identitas, status sosial, dan pendidikan performer yang bisa bertukar antar generasi dan lintas usia dan lain sebagainya baik sesama performer maupun dengan pengunjung pertunjukan sehingga nantinya bisa lebih mudah dikembalikan pada kebudayaannya. Mungkin juga ketika mau dikembalikan lagi ke budaya prosenium; yang memang dinilai Bambang Prihadi terasa sukar beradaptasi dengan ragam penonton. Apalagi meminta penonton untuk berpartisipasi langsung. Sebagaimana relasi kuasa dalam pertunjukkan, mengalami kesulitan membangun komunikasi dua arah dibawah kendali interior ruangan yang solid. Sebagaimana pola relasi kekuasaan yang alot kerumitannya hingga membuat kerja birokrasi kekuasaan tak bisa dengan sungguh membuka ruang partisipasi warga negara. Atau memang tidak sama sekali tidak menggunakan transformasi; atau hanya sebatas transportasi saja dalam menguji bahwa panggung prosenium hanya berperan sebatas menghidupkan kenangan, melanggengkan keberadaan elit dan ilusi kejayaan segelintir orang, layaknya seorang motivator. Sekedar alternatif pelepas kebosanan dari muaknya bentuk sajian tontonan layar kaca. Schechner mengungkapkannya sebagai berikut:
For the system to work, the transported must be as unchanged as the transformed is permanently changed. The work of the transported is to enter the performance, play his role, wear his mask—usually acting as the agent for larger forces, or possessed directly by them—and leave. In this process the transported is identical to the actor. Or, to put it another way, the actor in Euro-American theater is an example of a transported performer. For reasons that will be made clear later, the Euro-American theater is one of transportation without transformation. Many performance workers, especially since 1960, have sought to introduce into the Euro-American performing arts the process of transformation (Richard Schechner: Between Theater & Anthropologhy. Philadelphia, 1985, hal. 131). Schechner menyarankan agar sistem berfungsi, yang diangkut harus tidak berubah karena yang diubah berubah secara permanen. Pekerjaan yang diangkut adalah memasuki pertunjukan, memainkan perannya, mengenakan topengnya — biasanya bertindak sebagai agen untuk tim yang lebih besar, atau dimiliki langsung oleh mereka — dan pergi. Saya menganggap pekerjaan yang diangkut merupakan cara kerja performer masuk dan pindah bergerak ke wilayah lainnya dari batasan-batasan panca indra sebelumnya terkait drama (budaya) sosial yang dimilikinya. Schechner menambahkan dalam proses ini yang ditransmisikan identik dengan aktor. Atau, dengan kata lain, aktor dalam teater Eropa-Amerika adalah contoh dari pemain yang diangkut. Teater Euro-Amerika adalah salah satu transportasi tanpa transformasi. Banyak pekerja pertunjukan, terutama sejak 1960, telah berusaha memperkenalkan seni transformasi Euro-Amerika ke proses transformasi. Kaitannya dengan hal ini; pandangan yang dipikirakan Bambang Prihadi masih spekulatif; tapi menarik sebagai eksprimentasi dan harus ditranspotasikan dalam proses penciptaan pertunjukan seni. Bagaimana membaca panggung prosenium sebagai ruang sistemik yang membekukan sejarah dan kenyataan hidup manusia. Di mana realitas kekuasaan, masyarakat kesenian dan pelaku seni yang dipengaruhi arus tradisi barat turut serta membangun keberadaannya. Sebuah realitas yang telah menjadi bagian dari sejarah perkembangan seni pertunjukan Indonesia, yang sudah tidak fit in lagi dengan kebutuhan zaman. Saya melihat cara transportasinya yang dipikirkan secara baik dan matang agar tidak bias. Karena biar semakin kuat ketika Bambang Prihadi menilai perlu dirayakan segala macam yang membentuk keberadaannya dengan cara dimuseumkan. Terutama aspek kekuasaan yang melingkarinya, yang melahirkan trauma. Sebab kekuasaan tak dapat lari dari kenyataan, bahwa dirinya dibangun dari klaim dan ketakutan. Saya di sini kembali memberi catatan perlunya traumatik itu yang dipindahkan kepada ruang lain di mana Bambang Prihadi menyebutnya sebagai museum.
Disebutnya museum sebagai ruang penyimpanan dan perawatan benda-benda bersejarah yang menandai peradaban bangsa tertentu. Termasuk di dalamnya semangat dan pandangan zamannya. Peran dasar museum ini dipinjam dalam pertunjukan karya Lab teater Ciputat untuk menunjukan peristiwa pembekuan realitas melalui karya seni pertunjukan. Museum menjadi karya pertunjukan itu sendiri bersama benda-benda dan peristiwa yang dibekukan dan tersusun bersama ingatan para pelaku. Para penonton diajak untuk memasuki moment moment pembekuan dan proses pemuseuman dirinya. Menyaksikan dalam dingin bahwa sebagian dari dirinya, handai taulannya atau masa lalunya berada dalam kotak kaca steril dan diorama. Seperti juga ketika kita berada dalam ruang jenazah. Secara teknis mereka akan memasuki pemuseuman, mulai dari loby, teras, lorong kiri GBB, wing kiri GBB, Ruang rias dan wing kanan GBB. Saya melihat lab teater Ciputat sudah mentransportasikan panggung prosenium menjadi museum di mana sifatnya penonton tidak hanya sekadar menjadi penonton layaknya peristiwa ritus sebelumnya dalam menguasai yang selalui dihantui ketakutan. Tetapi justru saya menggarisbawahi peran performer dalam mentransportasikan terhadap manusia yang berada di musem perlu ujian-ujian perilaku/karakteristik dalam perpindahannya.
Catatan Ketiga; Inisiasi, Topeng, diri, dan Penonton
And how about the unlikely possibility of a priest (or the pope himself) playing the role of pope in a play? However unlikely these combinations are, they point to the four variables operating in every performance: (1) whether the performance is efficacious, directly making changes in ordinary life (initiations, weddings, and so on), or whether it is fictive, even about “real events” (The Deputy, ordinary plays, documentaries); (2) the status of the roles within a performance; (3) the status of the persons playing the roles—whether they are playing themselves (as in initiations), are possessed by others, or have, in the Stanislavskian sense, “built a role” (remember that Quesalid started by playing the role of unmasker/investigator and ended behind the mask he wanted to rip off others, and that Carnival and other celebrations pivot upon the inversion of roles where fools play the king and the king is required to act foolishly); and finally (4) the quality of the performance measured by the mastery performers have over whatever skills are demanded (and these vary from society to society, occasion to occasion)—even, sometimes, the skill to feign a lack of skill, as in many congames. None of these four variables is absent from any performance, transformative or transportational (Richard Schechner: Between Theater & Anthropologhy. Philadelphia, 1985, hal. 133).
Schechner mempertanyakan bagaimana dengan kemungkinan seorang pendeta (atau paus sendiri) memainkan peran sebagai paus dalam sebuah sandiwara? Pertanyaan yang menurut saya biasa saja dalam membacanya, tetapi yang menarik adalah bagaimana cara kerja Schechner dalam berinisiasi, bertopeng, diri, berhadapan dengan penonton di antaranya merujuk keempat variabel kinerja: (1) apakah kinerja itu berkhasiat, langsung membuat perubahan dalam kehidupan biasa (inisiasi, pernikahan, dan sebagainya), atau apakah itu fiktif, bahkan tentang “peristiwa nyata” (wakil, drama biasa, film dokumenter); (2) status peran dalam kinerja; (3) status orang yang bermain di sana — apakah mereka bermain sendiri (seperti dalam inisiasi), dimiliki oleh orang lain, atau memiliki, dalam pengertian Stanislavskian, “membangun peran” (ingat bahwa Quesalid mulai dengan memainkan peran sebagai unmasker/simpatisan dan berakhir di balik topeng yang dia inginkan untuk merobek orang lain, dan bahwa karnaval dan perayaan lainnya berputar pada inversi peran di mana orang bodoh berperan sebagai raja dan raja diharuskan untuk bertindak bodoh); dan akhirnya (4) kualitas kinerja yang diukur oleh para pemain penguasaan memiliki lebih dari keterampilan apa pun yang dituntut (dan ini bervariasi dari masyarakat ke masyarakat, kesempatan ke kesempatan) —bahkan, kadang-kadang, keterampilan untuk berpura-pura kekurangan keterampilan, seperti dalam banyak permainan. Intinya adalah kalau boleh saya menginterpretasi keempat kinerja itu saling berkelanjutan, bukan saling berhubungan, justru proses transportasi dari variabel satu ke variabel lainnya. Sehingga dalam kerangka kinerjanya sudah jelas. Pertanyaannya adalah apakah kita semua sudah melakukan keempat variabel tersebut karena tidak satu pun dari keempat variabel ini yang absen dari kinerja, transformatif, atau transportasi apa pun. Sehingga nantinya bakal lebih mudah untuk merobek dan merebut ruang penonton agar bertransaksional karena di babak berikutnya, Bambang Prihadi menginginkan;
Generasi milenial yang sudah lebih dulu berada di ruang auditorium GBB, akan menyambut kedatangan penonton di atas panggung. Mereka akan diabadikan dengan berselfie ria menggunakan kamera foto dan video. Selanjutnya akan terjadi upaya bersama untuk mencairkan suasana dan menerobos jarak antara penonton dan penampil yang telah berlangsung lama. Upaya ini akan menggunakan pendekatan gaya hyper realis dan gimik dari para pemain milenial. Di beberapa bagian, penonton menyaksikan dirinya berada di layar screen hasil rekaman perjalanan mereka dari teras GBB. Menemukan dirinya berada di tengah guliran peristiwa yang sangat dekat dan akrab di area panggung prosenium dan auditorium.
Proyeksi ini cukup mengganggu sekaligus pendorong lain agar terus mendorong terjadinya transformasi hingga mencapai trance, tetapi perlu diingat perilaku manusia, khususnya milenial yang beda generasi/kontradiksi zaman dan kekuasaan, maupun ketakutan yang berbeda wajib dihitung secara detail karena Schechner menekankankannya sebagai berikut:
Restored behavior is the key process of every kind of performing, in every day life, in healing, in ritual, in play, and in the arts. Restored behavior is “out there,” separate from “me.” To put it in personal terms, restored behavior is “me behaving as if I were someone else,” or “as I am told to do,” or “as I have learned.” Even if I feel my self wholly to be my self, acting independently, only a little investigating reveals that the units of behavior that comprise “me” were notinvented by “me.” Or, quite the opposite, I may experience being “beside my self,” “not my self,” or “taken over” as in trance. The fact that there are multiple “me”s in every person is not a sign of derangement but the way things are (Richard Schechner: Performance Studies an Introduction, third edition. New York, 2013, hal.34-35). Saya menyebut perilaku yang dipulihkan ini sebagai perilaku milenial sebelumnya digiring ke dalam satu sebab musabab, karena kontradiksi budaya dan ketidak sinkronan zaman, makanya perlu strategi tertentu untuk memulihkannya dalam kinerja pertunjukan, dalam kehidupan sehari-hari, dalam penyembuhan, dalam ritual, dalam permainan, dan dalam seni. Maksudnya adalah saya yang menjadi generasi y; memakai cara-cara tradisi lama, harus dipulihkan sehingga saya mengatakan generasi z. Saya adalah gen z, bukan y lagi. Saya memungkiri dan meyakinkan dirinya gen z. Nantinya di pertunjukan bahwa kesetaraan gen itu sudah tidak nampak lagi. Begitu juga sebaliknya; gen z yang harus mampu memulihkan berbagai macam lintas generasi itu dengan caranya. Karenanya performer yang beda generasi tersebut harus banyak-banyak melakukan investigasi/bergaul dengan yang jauh lebih tua sehingga dirinya dalam kehidupan sehari percaya diri dan mandiri sebagai generasi x, y, atau baby boomers. Sehingga nantinya benar-benar akan mencapai trance proses transportasi dan transformasi tersebut. Meksipun terlihat kekacauan tetapi apa adanya sebagai diri gen z yang melebur pada gen-gen yang jauh di atas mereka.
Sehingga harapan Bambang Prihadi; Apa yang kemudian tertangkap oleh setiap audiens adalah apa yang ingin diketahui para pemain. Apa yang telah disterilkan oleh kekuasaan atau elit politik sosial, agama dan budaya, adalah sesuatu yang ingin disibak dalam pertunjukan ini. Karenanya akan dibuat strategi bagaimana penonton dapat menjadi bagian integral dari pertunjukan ini lewat puluhan generasi milenial yang menjadi representasi masyarakat. Bagaimana peformer akan membuat ruang ruang kecil di luar panggung, sebentuk tafsir dan respon terhadap museum itu. Ini yang akan menjadi basis penciptaan karya LTC dalam semangat kolektif dan kolaboratif. Schechner menyebutkan;
And the audience? Spectators at transformation performances usually have a stake in seeing that the performance succeeds. Often they are relatives of the performers or part of the same community. Thus, in transformation performances the attention of the transported and that of the spectators converge on the transformed. This convergence of attention and the direct stake spectators have in the performance—is why so many transformation performances use audience participation (Richard Schechner: Performance Studies an Introduction, edisi ketiga. New York, 2013, hal.131-132). Schechner mencatat bahwa penonton di pertunjukan transformasi biasanya memiliki kepentingan dalam melihat kinerja berhasil, misalnya; seringkali mereka adalah kerabat dari pemain atau bagian dari komunitas yang sama. Tetapi pada pertunjukan ini, saya yakin kalau Bambang Prihadi bisa mewujudkan audiens di luar kerabat dan komunitas seni yang sama bisa berhasil berinisiasi, bertopeng, diri, dalam pertunjukan transformasi, agar perhatian kekuasaan dan ketakutan yang diangkut dapat bertemu pada yang apa ditransformasikan. Makanya sangat penting dalam konvergensi sebanyak mungkin perhatian penonton dilibatkan dalam transaksinya, apakah sesama performer, atau dengan penggagas sendiri (Bambang Prihadi), atau penggagas dengan performer yang bisa berganti-ganti, dan berubah dalam upaya perpindahan yang terus bergerak dari halte satu ke halte lainnya untuk mencapai trance kekuasaan dan ketakutan hingga akhirnya nanti dikembalikan ke posisi semula sebagai diri yang berhasil melepaskan topengnya atau tidak pernah memakai topeng sama sekali.
Penutup
Semoga ketiga catatan ini; Catatan Pertama; Subjek Baru Pengetahuan dalam Ritual Kekuasaan Catatan Kedua; Transportasi & Transformasi yang Terbuka Kemungkinan Lain, Catatan Ketiga; Inisiasi, Topeng, diri, dan Penonton bisa menjadi catatan yang tidak berarti juga, bisa juga memusingkan setelah membacanya, atau bisa dikaji secara pelan agar mengerti, kalau bisa dimengerti terima kasih semesta, karena saya di sini berusaha memindahkan diri dalam topeng Schechner, berpura-pura menjadi Schechner, antara kesoktahuan, antara kepolosan, apa adanya, jujur karena sebetulnya memang tidak mau berdiskusi, tapi tetap berupaya, dan berada di antara antara topeng-topeng tafsir dari segala macamnya. Karena saya juga menganggapnya sebagai ritual untuk menjadikan subjek pengetahuan dalam kinerja saya dalam wilayah individualistik dan lain sebagainya. Bagaimanapun hormat saya buat Anda, Mas Bambang Prihadi!!!!