Oleh Arung Wardhana Ellhafifie

Mary Luckhusrt dalam bukunya Dramaturgy: A Revolution Theatre menerangkan bahwa dramaturg secara kebiasaan atau pada umumnya cenderung mengaitkan hubungan konflik peristiwa dengan sejarah umum dramaturgi, mencari sisi-sisi lokalitas yang bisa dicatat,  kecacatan dari sebuah peristiwa, dan kadang-kadang upaya yang disengaja untuk memastikan kelanjutan keterbukaan dari sejumlah hal yang tidak formal tetapi sangat penting di setiap pertunjukan yang berperan sebagai pemain, sutradara, penelaah sastra, pengkaji dan pemikir kritis (2005:2). Saya coba memberikan kemungkinan-kemungkinan dalam kacamata seorang dramaturg; tepatnya pada pertunjukan Jakarta Setelah 18:00 yang disutradarai Rukman Rosadi di Gedung (komunitas) Salihara pada hari Sabtu, 13 April 2019, pukul 20:00 WIB.

Pertunjukan itu berangkat dari kelas akting Salihara dalam periode tiga bulan dan diikuti beberapa aktor yang beragam latar belakangnya. Ada desainer, karyawan swasta, mahasiswa, spesialis digital marketing, sales trainee, pembuat film dokumenter, penyunting, guru, staf lembaga nirlaba, CEO Ilmuwan Muda Indonesia, dan lain-lain. Artinya secara umum para aktor ini sudah berhubungan dengan arsitektur  perkantoran dengan segala macam bentuk tata ruang dan keanekaragamannya.

Berdasar catatan sutradara, karya pentas tersebut dibuat berdasarkan pengalaman pragmatis, analisis, observasi dan eksplorasi aktor yang diolah sutradara dan asisten sutradara (Muhammad Khan). Tentunya ada semacam biografi tubuh masing-masing aktor yang dibocorkan melalui beragam tanda yang diwujudkan ke atas panggung. Nampaknya segala macam problematika manusia Jakarta yang mengadopsi struktur modern begitu terbukanya; pertentangan privasi rumah tangga, kenakalan-kenakalan seksual yang bisa diakses melalui dunia digital, hukum balas budi antara anak dengan orang tua di kampung yang wajib ditunaikan sebagai manusia sejati, atau transaksi digitalisasi perselingkuhan antara satu dengan lainnya, dan masih banyak lagi yang lain semacam kilasan-kilasan manusia Jakarta dengan estetika transportasi super cepat dalam setiap detiknya. Penonton disuguhkan daya tarik berupa kursi-kursi dan laptop di tempat duduknya masing-masing seperti membuka ruang realisme dalam imajinatif masing-masing kepala. Namun ‘cacat’ secara identitas perkotaan yang sesungguhnya berada dalam ruang marjinalisasi individualistik. Mereka ‘cacat’ pada dramaturgi budaya organik yang arsitektural dan dipaksakan ‘bunuh diri’ pada biografi tubuhnya. Mereka nampaknya tidak dihidupkan dengan berbagai macam pilihan arsitektur dari tubuh, suara, pikiran, dan emosi selama proses mengikuti kelas akting.

Pertunjukan biografi tubuh tersebut membocorkan beberapa aktor yang memiliki kemampuan menyanyi, menari, berbahasa Inggris, maupun berdeklamasi, yang memberikan kemungkinan pada arsitektur organik semakin ‘terang’ tanpa cacat sehingga menjadi ‘gelap’ struktur bioarsitekturalnya. Cathy Turner (2015:19) menegaskan dalam bukunya New Dramaturgies: Dramaturgy and Architecture, Theatre, Utopia, and The Built Environment bahwa dalam beberapa teater yang didiskusikannya, apakah modernis atau postmodernis, para seniman sebelumnya memiliki pelatihan dalam arsitektur atau bidang terkait, atau seperti dalam kasus seniman Bauhaus, terkait erat dengan pelatihan arsitektur. Ini menarik, dimana pelatihan atau kedekatan tampaknya memengaruhi dramaturgi. Robert Wilson, Alexander Vesnin, dan Cliff McLucas semuanya menjalani pelatihan arsitektur, sementara Krzysztof Wodiczko diajari ‘desain industri’ oleh arsitek Jerzy Sołtan.

Sehubungan dengan latihan arsitektur di atas; bukan berarti kelas akting diwajibkan dengan materi arsitektur, desain industri, dan desain visual komunikasi ataupun keterkaitan dengan hal lainnya. Namun hubungan teater dengan arsitektur biografi tubuhnya perlu dicek dan didata ulang mekanisme kerja setiap perangkatnya. Khawatir ada beberapa perangkat tubuh arsitek yang menopang untuk tumbuh tidak saling terkait satu dengan lainnya, sehingga tidak menjadi satu kesatuan (konektivitas) yang memungkinkan panggung tidak terputus; semacam simulasi ragam peristiwa dalam satu ruang yang carut marut.

Jika kecarutmarutan setelah waktu 18:00 yang ingin dicapai sebagai tujuan estetika; maka ada pertanyaan-pertanyaan lain berhubungan dengan epistemologi jalanan Jakarta yang suntuk nan busuk, penuh dengan dramaturgi bunyi, dramaturgi psikologi, dan ragam dramaturgi lainnya yang saling menguatkan tradisi (akar) hiruk pikuk yang mengganggu dan emosional setiap detiknya. Maka panggung itu tidak sama sekali memberikan teror atau pertentangan kaum urbanisme yang cenderung menjadi dua pilihan antara bersahabat atau melawan/memberontak dengan efek pertikaian yang berbuntut drama tragedi.  


Awalan pertunjukan bersamaan dengan pembawa acara Salihara membuka pertunjukan dengan; segala macam tata tertib nonton pertunjukan yang cukup mengganggu (Foto: AWE).

Saya akan berpendapat bahwa kita mungkin menganggap Solness dan Hilde yang membayangkan dua set arsitektonik terkait, tetapi berbeda yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah Nietzschean dari ‘arsitek’ dimana prinsip-prinsip bangunan telah dipertanyakan. Sementara kedua posisi dapat didiskusikan dalam kaitannya dengan arsitektur dan dramaturgi, adalah Hilde yang memiliki visi arsitektur radikal sebagai dramaturgi. Jika Solness tetap menjadikan visi arsitektur sebagai ‘pembangun utama’, sementara visi arsitektur Hilde adalah ‘teater’ baik secara literal hingga sampai batas tertentu dianggap sebagai perasaan yang menjunjung (Cathy Turner, ibid, 35).

Berdasarkan dua pandangan tersebut, betapa ketatnya sebuah arsitektur dalam kacamata pertunjukan yang tanpa disadari garis tubuhnya membentuk sikap dan perilaku manusia yang dikelilingi atau dikonstruksi oleh arsitektural yang dipilih dan disesuaikan dengan kebutuhan ruang serta visi besarnya dari sebuah bangunan. Kepekaan terhadap arsitektur ruang tubuhnya yang real memberikan kemungkinan setiap pelaku seni untuk mencatat biografi ruangnya sendiri dan menganalisis sebagai pandangan dalam proses pertunjukan yang tidak lagi menjadi teks sastra, tetapi menjadi sebuah sastra pertunjukan.

Teater sosial yang sifatnya independen menantang jenis-jenis drama, gaya akting, dan imperatif komersial yang menguasai aliran utama, dan mengkristal keinginan di antara para avant-gardistes untuk repertory teater yang dapat menyediakan ruang seni di Inggris, intelektual, dan kontinental yang baru. Archer bereksperimen dengan perusahaannya, New Century Theatre, dari tahun 1897 hingga 1899; dan Masyarakat Panggung Inggris (1899–1939), yang dengan tajam mengembangkan pemikiran kritis Archer dan praktik intelektual dan artistik Harley Granville Barker, dibentuk untuk menghasilkan drama tanpa izin atau tidak komersial, karya perdana oleh Shaw dan Barker, dan karya-karya diperkenalkan oleh Maeterlinck, Hauptmann, Gorky dan Tolstoy ke panggung dengan berbahasa Inggris (Mary Luckhurst, ibid, 69).

Tulisan ini maksud saya tidak memberikan tantangan yang signifikan dalam eksprimentasi seni pertunjukan yang berasal dari dramaturgi budaya organik. Drama-drama ruang, manusia, tempat berdasarkan asal muasal dari aktor-aktor yang mengikuti kelas akting hanya berjalan di koridor instruksi sutradara. Sementara yang dipanggungkan pola-pola kerja di luar sutradara, di luar aktor, di luar dramaturg, tetapi justru cara kerjanya berada pada instrinsiknasi ketubuhan yang masuk ke dalam budaya organik tertentu seperti Sunda, Sasak, Dayak, Jawa, Bugis, Ambon, dan lain sebagainya. Maka pertemuan budaya organik itu dalam arsitektur kota yang bernama Jakarta hanya sekadar template yang tidak berarti apa pun. Padahal sangat berpotensi menjadi teks yang bergerak dari dramaturgi budaya organik yang tidak berhenti pada sebatas pertunjukan pada malam itu. ‘Dia’ memberikan peluang wacana di luar sebagai tontonan yang tentu semua orang bersepakat dapat dinikmati dengan baik maupun diletupkan satu pesan, amanah dalam setiap kepala penontonnya dalam menyatukan ruang, aktor, dan karakter yang lebih besar.


Beberapa aktor kelas akting Salihara yang disibukkan dengan techno teater yang ketat setiap waktunya dalam menjalani realitas sebagai manusia Jakarta (Foto: Salihara).

Shomit Mitter (1992:10) dalam bukunya System of Rehearsal: Stanislavsky, Brecht, Grotowski, dan Brook menjelaskan bahwa unit dan tujuan berkontribusi pada penyatuan aktor dan karakter dengan mentransfer apa yang menjadi motif karakter untuk apa di dunia nyata aktor itu pembenaran. Dalam tindakan menemukan kata kerja yang dapat digunakan untuk melabeli keasyikan dominan karakter pada poin-poin tertentu dalam sebuah drama, para aktor juga memberi diri mereka alasan untuk melakukan apa yang dilakukan karakter mereka. Nah, di sinilah letak peluang-peluang besar yang tidak terlalu berjalan baik karena aktor tidak terlihat melakukan pembenaran sikap dirinya agar digiring ke atas panggung. Seharusnya karakter pun dengan mudah termakan atau dilahap secara mentah untuk memberikan motif kerja keaktorannya. Organisme secara tubuh satu dengan tubuh lainnya tidak saling mengisi energi sebagai drama atau teks pertunjukan. ‘Dia’ lepas begitu saja dan hanya tercatat sebagai ruang yang menarik sebagai tontonan tanpa memberikan efek apa pun dalam daramaturgi baru.

Dramaturgi baru membuka pintu secara lebar dan jalur-jalur alternatif yang memungkinkan efektivitas teknik secara kebutuhan atau mempersempit ruang yang tidak terlalu padat dan sesak. Karenanya diwajibkan setiap aktor memiliki sikap otentik berdasarkan kritisismenya pada situasi dan kondisi realitas agar pertunjukan tidak berakhir dengan pesan dan amanat yang kadang suntuk; karena penonton tidak memberlakukan dirinya sebagai manusia yang hidup dalam pertunjukan tersebut. Artinya bisa berlalu begitu saja satu orang sekalipun. Bahkan dari jalur alternatif itu memberikan kemudahan untuk menggali sistem biomekanikal setiap manusia dalam setiap perjalanannya. Karenanya Shomit Mitter menceritakan bahwa Stanislavsky menyatakan bahwa sistemnya didasarkan pada pengalaman, bahwa teknik yang ia anjurkan di dalamnya didasarkan pada analisisnya tentang alasan keberhasilannya sebagai aktor yang berpraktik. Kegagalannya sebagai aktor setelah formalisasi sistemnya kemudian dapat berarti satu dari dua hal: bahwa klaimnya untuk bekerja dari pengalaman menjadi teori sebenarnya tidak berdasar, yang tidak mungkin; atau bahwa, ketika menulis, dia telah salah menafsirkan penyebab kesuksesannya (ibid, 13).

Pengalaman-pengalaman sebagai manusia urban ini ada kecenderungan dipotretnya berdasarkan instruksi sutradara pertunjukan. Aktor tidak melakukan transaksional yang lebih cair dan terbuka untuk menghasilkan harga-harga ekonomis serta saling menyenangkan kedua belah pihak, bukan hanya satu pihak tertentu yang mendapatkan keuntungan personal atau berlebihan akibat dari transaksional yang cenderung membohongi layaknya tengkulak atau pedagang yang mata duitan. Begitu juga sebaliknya kemungkinan lain sutradara ataupun asisten sutradara tidak melakukan pembocoran tubuh dari setiap peristiwanya yang linear. Aktor terlihat dalam menginterpretasikan biografi tubuhnya terhadap aktor lainnya ataupun sutradara nampak dialienasikan, lalu seperti melakukan strategi-strategi tubuh yang kurang lunak karena tidak dievakuasi ke jalur alternatif. Sementara cara kerjanya sudah masuk kepada wilayah jalan baru sebuah pertunjukan. Sebutlah pengalaman-pengalaman di jalan baru itu hal yang pragmatis untuk dikemukakan bersama, dianalisis, dieksplorasi, dan diobservasi bersama. Namun jalan-jalan baru itu seperti berdiam di tempat meskipun sudah larut dengan waktu yang dikerjakan sebagai orang-orang urban dengan arsitektural kota. Catatan saya dalam pertunjukan yang ditonton memosisikan dramaturg yang sudah membaca narasi (mencatat manusia-manusia Jakarta dalam pergulatan tubuh, pikiran dan emosi-emosi mereka yang tak tak selalu selesai) bukan berarti penyelesaiannya adalah dibiarkan menggantung pada arsitektural gedung. Namun memiliki sikap seni yang terbalik atau ketidakberpihakan terhadap kondisi tubuhnya dan memberikan himpitan sekaligus tekanan yang dikonstruksi dari transaksi biomekanical antara manusia urban. Atau mungkin menjadi dekonstruksi atau postdekontsruksi, kemudian dilebur kembali dari ketidakmungkinan material untuk diteliti ulang bahwa waktu Jakarta setelah 18:00 itu menyebalkan, menyesakkan, terkutuk dan lain sebagainya menjadi dimensi berbeda dari sebelumnya karena diberikan kebebasan banyak ruang bersentuhan dengan pertunjukan.

Pada dasarnya sifat dari sebuah pertunjukan sangatlah umum yakni tontonan dan ditonton. Tapi Elinor Fuchs dan Hans-Thies Lehmann melakukan penelitian dengan bereksprimen pada setiap pertunjukannya, maupun dalam memberikan kritik terhadap pertunjukan orang lain demi terwujudnya dimensi-dimensi yang merobek dari konvensi dimensi panggung sebelumnya. Kemunculan dimensi lain dalam pertunjukan Setelah Jakarta 18:00 memungkin cukup banyak dalam setiap penandanya; yang paling besar itu terjadi pada saat salah satu aktor bersoliloqui, sementara aktor lainnya memberikan visual dengan cara memrepresentasikan tubuhnya. Hanya saja tubuh-tubuh yang direpresentasikan berkutat pada visual teknik tanpa adanya robekan-robekan ekspresi maupun penanda yang dihasilkan untuk merusak pikiran penonton. Saya sebagai penonton masih beradada pada jalur yang aman dalam sebuah gedung pertunjukan. Akhirnya ekpresi tubuh satu dengan tubuh lainnya semacam pergantian potret biografi atau epistemologi testimonial yang cenderung membosankan dan mengantuk pada sisi tertentu, sehingga sangat disayangkan cara kerja postmodern ini masih terlibat dalam ruang-ruang generik yang kaku dan tegak lurus dengan konvensi. Barangkali tafsiran ini bisa berbanding terbalik dengan argumentasi sutradara dan aktor, justru saya sangat berharap kemungkinan lahir dimensi luar dari catatan ini.

Menariknya dalam penelitian ini, Cathy Turner pun mengatakan titik awal yang penting  adalah upaya untuk menganalisis dramaturgi melalui lensa arsitektur. Dalam hal ini saya berhutang budi kepada banyak kritikus teater, paling tidak Elinor Fuchs dan Hans-Thies Lehmann, yang keduanya telah mempertimbangkan implikasi menganalisis dimensi ruang teater, mengingatkan perlunya menganggap teater sebagai bentuk seni tiga dimensi, di mana narasi terlibat dalam struktur fisik, visual dan spasial (ibid, 7). Lensa arsitektur itulah yang diharapkan saya muncul dari pertunjukan biografi tubuh aktor, ataupun dari lensa teknik industri, rupa, fotografi, skala keuntungan dan kerugian maupun beragam lensa lainnya. Karena organik tubuh yang dibocorkan sebagai potret biografi yang menarik dan seksi. Kerangka kerjanya sebagai story telling yang menciptakan tradisi baru dalam satu kemungkinan yang tidak terbatas. Jadi setiap pelaku seni bukan saja hanya sibuk membicarakan batas aktor, sutradara, penata musik, penata artistik, yang sebenarnya hal ini bukan barang baru. Sudah banyak dilakukan para aktor sebelumnya berdasarkan story telling mereka yang mengintegrasikan dirinya sehingga muncul kesadaran berpikir dalam menghasilkan naratif teater yang bernas. Sekali lagi saya katakan Setelah Jakarta 18:00 bukan pertunjukan yang ‘cacat’ secara teknik, tapi ‘cacat’ dalam arti yang sangat disayangkan untuk mengolah asal usulnya siapa yang diikat dari kacamata arsitektural tubuhnya masing-masing.

Widagdo, Novaldi, Odelia, Wicaksono, Surya, Gautama, Suprayogi, Wardhana, Dwimarsya, Widjaja, Maharja, Elizabeth, Rambito, Pangaribuan, Warinta, Ramdhani, Redi, dan Savitri sudah tidak sepatutunya menarasikan bagaimana aktor berkembang dan tumbuh di panggung, tetapi mereka sudah melakukan bagaimana kebahagiaan dari sebuah kota yang bernama Jakarta sebagai arsitektural yang menciptakan kinerja-kinerja secara terminologi ataupun kerja-kerja yang tidak berkutat pada formalisme antara akting dan bukan akting, sehingga harapan cara kerja bekersenian tidak mengalami stagnasi di sana, padahal itu semua ‘barang lama’ yang terbilang langka karena struktur sangat terlalu memberikan tekanan pada ruang yang semakin depresi untuk dicairkan kembali dalam kacamata subyektivitas. Jika itu ditraining secara intens, barangkalai pertunjukan terus berdialektika sesuai dengan ragam strategi kebudayaannya yang seyogyanya ditemukan pada setiap pertunjukan.

Arung Wardhana Ellhafifie, Dramaturg/Penulis yang berdomisili di Jakarta