Oleh Arung Wardhana Ellhafifie
Dramaturgy of Sound: Mladen Ovadija
Terobosan dramaturgi suara bukanlah masalah teknik artistik atau keahlian; ini adalah konsekuensi dari pengakuan avant-garde terhadap materialitas suara, revisinya terhadap referensi konvensional cara artistik, dan pembentukan estetika baru yang berhubungan dengan suara sebagai materi, sebagai bentuk, dan sebagai konstitusi independen dari materi, dan karya seni. Bukan pertanyaan panjang tentang bagaimana menghasilkan, melalui suara, sebuah karya seni yang akan mewakili suatu objek, menandakan sesuatu, atau mengekspresikan ide estetika yang dirumuskan di tempat lain dalam budaya, bahasa, atau teori (Mladen Ovadija: Dramaturgy of Sound in the Avant-Garde and Postdramatic Theatre, Canada, 2011, h.15).
Catatan di atas sebagai pengantar teaterikal puisi Asmara Luka yang disutradarai Ali Ibnu Anwar berawal dari puisi-puisi setiap aktor yang dikumpulkan dengan bertransaksi gagasan antara satu dengan lainnya, atau yang disebut sebagai dramaturgy puitical jika mengutip istilahnya Benny Yohanes (kritikus teater). Masing-masing aktor menuliskan puisi hingga akhirnya dari dua belas puisi dikurasi menjadi dua puisi, yakni Asmara Luka. Ketika puisi yang dipanggungkan; prolog pertama kali yang muncul dalam ingatan selalu dekat dengan gaya deklamasi. Sehingga terganggu dengan suara yang berirama. Tentu saja pada saat membicarakan deklamasi, kita selalu ingat dengan Rendra, Sutardji Calzoum Bahri, Taufik Ismail, hingga Joko Pinurbo, bahkan di era kekinian banyak penyair di beberapa daerah seperti Makassar, Kendari, Purwokerto, Tegal, Sampang, Surabaya, Pasuruan, dan masih banyak daerah lainnya membacakan karya puisi yang tidak mampu dipisahkan dari dramaturgi dalam pertunjukan teater.
Suara yang dihasilkan dari pembacaan puisi diproduksi sebagai cara yang merdeka dalam mereposisikan estetika baru. Saya sangat bersepakat ketika suara yang diciptakan dari pendeklamasian ini menimbulkan gerakan budaya. Material yang diolah puitik tidak menjadi semacam realitas keseharian yang sering kali menjadi tolok ukur drama. Bahkan bahasa menjadi analisis yang paling sederhana sebagai indikator bagi penelaah sastra pertunjukan. Namun ketika puisi hadir ke atas panggung, maka bisa beragam hasil. Hanya saja dalam pertunjukan dramaturgy puitical yang dipanggungkan oleh Komunitas Ranggon Sastra seperti sangat kesulitan untuk keluar dari wacana artistik, estetika, maupun kaidah-kaidah sastra.
Dramaturgy puitical di mana hakikatnya lahir dan tumbuh karena perlawanan realitas visual yang sebelumnya bahwa seolah-olah teater sangat berjarak dengan sastra. Narasi-narasi puitik ingin memberikan kesadaran lain lewat kata yang mengandung nilai sastrawi justru lebih bisa merongga dengan tubuh manusia; sehubungan ini berkaitan dengan penonton pertunjukan. Hal ini juga digarisbawahi oleh Benny Yohanes; puisi-puisi lirik (ungkapan hati) bisa memungkinkan terjadinya ungkapan yang tidak terjangkau oleh tubuh manapun. Artinya saya berpendapat dramaturgy puitical itu tidak menjadi senjata yang kuat dalam kehidupan berkesenian karena akhirnya sama saja dengan pertunjukan realisme yang paten dengan metodologi Stanislavski dan para muridnya yang turun temurun.
Salah satu potongan puisi seperti berikut; sajak ini menetas dari rahim asmara luka. di antara reruntuhan zaman dan gelas hujan dari langit barat. lelaki muda tersesat di perut kota. wanita remaja belajar kencing di balik pagar tetangga. dua anak manusia bermain cinta di antara lipatan-lipatan kitab suci (Ali Ibnu Anwar (sup): Asmara Luka, 2019, h.6), di mana teks yang ditulis Ali Ibnu Anwar sendiri bagaimana perasaan ungkapnya yang cemas dengan peradaban semakin bergerak cepat di era digitalisasi, tetapi sayangnya produk digital itu tidak dimanfaatkan secara cerdas agar perasaan batin penyair memiliki jembatan rongga dengan penontonnya. Malah terkesan memaksakan diri dengan jebakan-jebakan bentuk pertunjukan ketika penonton sudah digiring pada suasana yang terang benderang di mana saya menyaksikan digitalisasi menggiring manusia dengan individualistiknya sebagai tubuh.
Malah hal itu semakin mengganggu karena puisi yang dijadikan sebagai transportasi menjadi terbuka lebar untuk menentukan akhir dari pertunjukan. Namun seketika saya dikejutkan banyak suara (bunyi) dari terompah yang diadu dengan permukaan lantai sehingga menjadi irama, level yang digulingkan atau dibenturkan. Celakanya hal itu; rupanya tidak menjadi perhitungan dari dramaturgy of sound yang berasal penciptaannya dari dramaturgy puitical lahir secara alamiah tanpa pertimbangan yang matang karena hanya sekadar suara-suara penghantar yang hilang makna maupun visi misinya dalam mengkonstruksi pertunjukan.
Padahal suara pada dasarnya yang bertentangan dan merusak kestabilan obyektifitas, kepastian, dan kekhasan pandangan yang menjadi dasar logosentrisme. Dengan demikian telah menjadi bagian dari persenjataan dalam perjuangan avant-garde historis terhadap penutupan representasi teks dramatis yang dianalisis oleh Jacques Derrida (ibid, h.18). Akhirnya dramaturgy of sound yang sesungguhnya sebagai senjata kaum dadaisme menjadi kesia-siaan yang mengulang dan berulang layaknya peradaban hancur, lalu muncul peradaban berikutnya sebagai peralihan dari zaman sebelumnya. Bukan menjadi jalan keluar melihat keberadaban yang terbilang memuakkan atau membelenggu. Barangkali bunyi-bunyi itu sebagai teror dari sebuah keberadaban yang ditakutkan semisal gesekan terompah dengan handhpohe yang menjadi bunyi lain tentunya, bahkan menjadi ritus sosial di antara perayaan dan kematian.
Mladen Ovadija (2011:21) juga menjelaskan bahwa penggunaan efektif bunyi dan suara di teater, terlepas dari konten tekstual drama, berasal dari zaman kuno. Peristiwa teater aromatik, ritual keagamaan, ritual suku, dan pertunjukan perdukunan semua menggunakan sihir bunyi untuk menyembuhkan dan merayakan, untuk meratap dan berduka, untuk menarik roh baik dan menakut-nakuti orang jahat. Ritme drum dan melodi instrumen eufonik primitif mendorong nyanyian dan tarian yang menyatukan semua peserta dalam sebuah upacara. Kemampuan bunyi mentah ini untuk memperbarui komunalitas acara dan melepaskan diri dari dominasi teks yang diakui oleh penyair, pelukis, dan seniman teater avant-garde yang kembali ke tarian lantunan “primitif”, dan pola-pola Bali dan Afrika topeng. Sayangnya musik yang diciptakan dari terompah, level, lantai, handphone, tabung tv tidak dijadikan sebagai diferesnial tanda dari aktor yang bisa mendukung puitik-puitik dari tubuhnya masing-masing; bagaimana mereka mengoreksi dan mengecek peradaban dari tubuhnya sehingga menciptakan perayaan atau penghancuran bunyi sebagai bentuk perlawanan dari sebuah komunal yang lahir tubuh puitik. Maka perasaan yang terungkap benar-benar berfungsi sebagai performa. Saya rasa training hubungan bunyi, suara, tubuh, kata puitik, dengan benda-benda peradaban lainnya tidak dicari sebagai pintu keluar untuk menemukan jalan yang independen.
Independensi ini harus dicapitalisasi sebagai cara dadaisme dari sebuah puitik tubuh, performa, psikoanalisis dan marketing body adalah cara kerja eksprimen (ujian/mengolah) yang memang mengandung berbagai macam risiko, seperti yang dijelaskan Mladen Ovadija; Mengikuti eksperimen avant-garde historis, suara kemudian dipahami dan ditangani sebagai substansi alih-alih sebagai sarana signifikasi dan komunikasi. Dengan demikian, ia memasuki ranah semiosis teatrikal dan mendorong munculnya “semiotika pendengaran independen” dalam teatrikal yang saya rujuk sebagai “dramaturgi suara” (2011:28).
Puitik Tubuh yang Prematur
Secara bentuk pertunjukan teaterikal puisi Asmara Luka kalau dilihat dari kacamata penonton bisa dipastikan berupa teater naratif. Hal ini bisa dilihat pertunjukan prosenium pada umumnya seperti sebuah rumah, lalu ada tamu yang berkunjung dan disuguhkan dengan hidangan. Rebecca Rouse mengemukakan dalam kasus pertunjukan, teater naratif sering sangat mimesis, sedangkan bentuk-bentuk seperti seni instalasi cenderung memasukkan lebih banyak refleksivitas dan sedikit mimesis. Contoh dari desain kinerja mimesis adalah panggung yang menyerupai ruang tamu literal, dengan sofa, kursi, meja kopi, dan sebagainya, dengan area belakang panggung tertutup dari pandangan (A New Dramaturgy for Digital Technology in Narrative Theater, Georgia, 2013, h.89). Padahal dramaturgy puitical yang diciptakan sutradara (bisa menjadi perangsang gagasan) memungkinkan terjadinya seni instalasi dengan desain panggung refleksif; di mana mekanisme aksi diekspos-penonton dapat melihat area belakang panggung, petugas panggung terlihat membuat transisi, dan sebagainya, sehingga penonton selalu diingatkan bahwa mereka menonton konstruksi dari puisi atau suara.
Rebecca Rouse juga menambahkan bahwa teater naratif muncul sebagai bentuk pertunjukan yang paling menekankan narasi linier dan mimesis. Tantangan dalam hal mengintegrasikan teknologi digital ke dalam jenis teater khusus ini adalah melakukannya sedemikian rupa sehingga mendukung tujuan utama genre, dan tidak mengubah bentuk pertunjukan ke tingkat yang tidak dapat dikenali, atau tipe lain dari kinerja sama sekali (2013:105). Saya mengutip teks ini ingin memeberikan kemungkinan lainnya bahwa perangkat teknologi digital bisa hadir dan saling berirama dengan dramaturgy puitical, sound, ketika tubuh puitik belum waktunya lahir (perematur) ke permukaan, sementara cara kerjanya sebagai jalan baru. Ini maksudnya adalah proses percampuran dramaturgi dan bentuk pertunjukan sangat memberikan kekuatan untuk menambal lubang-lubang biografis manusianya dan banyak angle.

Salah satu adegan lainnya dalam pertunjukan teaterikal puisi Asmara Luka (Foto: AWE).
Sebagai catatan terakhir adalah dalam dramaturgy puitical yang juga berangkat dari biografi tubuh penyair sekaligus aktor di mana sebagai jalan baru sebuah pertunjukan, maka sangat menarik jika melepaskan terlebih dahulu cara kerja sebuah pertunjukan pada umumnya seperti teater modern. Misalnya tersusunnya nama sutradara, dramaturg, aktor, penata artistik, pemusik justru akan menjadi gangguan dalam bereksprimen (mencari peluang-peluang baru). Seyogyanya juga dramaturgy puitical menemukan independensi tubuh yang lepas dari artistik, tetapi bagaimana pengungkapan soliloqui atau hasrat tubuhnya dengan banyaknya gangguan atau semacam kebahagiaan diri dan keberadaan yang membanggakan sebagai umat manusia. Puitik tubuh seperti bahasa yang tersembunyi melalui performa piskoanalisisnya yang meruang dan bertransaksional dengan lainnya sehingga teks menjadi suara. Dramaturgy of Sound: Mladen Ovadija memungkinkan dramatugy puitical atau semacamnya masuk ke ruangnya. Bagaimana teks diaransemen menjadi suara tubuh yang bergerak dalam ruang seni; maka hal lainnya mengubah cara kerja diri wajib bercengkerama dan akrab dengan tawaran poststrukturalis seperti Claude Levi Strauss, Jacques Derrida, Jaques Lacan, dan Michael Paul Focault. Setiap manusia yang masuk pada dramaturgy puitical melepaskan artifisial yang usang, pola-pola terbalik dalam cara kerjanya sebagai kerangka utuh agar dimigrasikan pikiran teks dalam kepalanya menjadi visual lain. Sehingga rumah tidak hanya sekadar literal ruang tamu, tetapi tamu bisa menerobos ke dalam kamar, dapur, kamar mandi, dan lain sebagainya. Begitu sebaliknya jika kita mendatangi rumah orang lain; maka mereka mewajibkan kita masuk pada ruang privat seperti yang disebutkan sehingga muncul pintu terbuka. Maka dramaturgy of sound: Mladen Ovadija tidak lagi bekerja sebatas suara yang tampak di luar, tetapi suara di dalam privasi itu akan lebih memunculkan. Namun penting rasanya privasi tidak diterobos dengan cara memaksa sehingga nantinya adanya konflik, penajaman konflik, conclution layaknya cara kerja modern; akhirnya lagi-lagi terjebak pada penyelesaian, padahal kita masih terus bergerak dengan suara-suara dinding kamar, wajan, piring, gelas, token listrik, cetekan kompor gas, dan tabung gas sekalipun. Dan seni-seni instalasi tubuh akan hadir dengan penonton; akrab dengan manusia yang baru saja dikenalnya sebagaimana kalau mereka bukan orang pertama kali tidak kenal, tamu yang datang pertama kali sudah mengalami gangguan tubuh puitik dengan kita. Jika itu sudah terpenuhi; maka seyogyanya tubuh lahir dari rahim yang pasti tanpa masuk ke rumah sakit di mana tiap harinya selalu penuh dengan antrian di loket administrasi dan obat agar lepas luka.
Arung Wardhana Ellhafifie, Dramaturg/Penulis yang berdomisili di Jakarta