Oleh WS Restu
Karawang. Kota yang namanya tercatat dalam salah satu puisi Chairil Anwar, Karawang-Bekasi. Inilah salah satu bagian dari saksi sejarah perjalanan hidup penyair flamboyan tersebut. Di kota seluas 1.737 kilometer persegi ini pula, ia memperistri salah satu dara sunda bernama Hapsah Wiraredja, tahun 1946. Sebelum ajal menjemput, mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama Evawani Alissa.
Kita bisa melihat bagaimana keintiman antara Karawang dan Chairil. Bahkan hanya dari wanita Karawang itulah garis keturunan Chairil bisa berlanjut. Sejauh ini, Chairil masih menjadi Maestro Sastra di Indonesia, terutama puisi. Puisi-puisi karyanya menjadi yang paling sering muncul di halaman bacaan anak sekolah dan soal ujian. Paling tidak, ketika bertanya kepada seorang petani yang menandu cangkul, tentang nama penyair, nama Chairil pasti tidak akan terlewatkan.
Betapa patut jumawanya kota Karawang, karena pernah menjadi salah satu kota paling berkesan bagi Chairil Anwar. Boleh saja sejarah mencatat, Chairil begitu dekat dengan kota Karawang. Namun, tidak banyak penulis puisi yang lahir dari masyarakat Karawang. Bahkan, untuk saat ini Karawang lebih dikenal sebagai kota industri. Bukan tumbuh sebagai satu kota yang menjadi habitat perkembangan sastra.
Kesusastraan di Karawang masih menjadi barang asing yang jauh dari jangkauan masyarakat. Betapa sulit menjumpai komunitas-komunitas yang menyelenggarakan acara apresiasi sastra. Tidak pula mudah menjumpai sekumpulan anak muda yang duduk melingkar mendiskusikan karya sastra. Apakah setelah kota ini menjadi ibu dari industrialisasi di Indonesia ini, menjadi salah satu penyebab?
Seluas mata memandang, Karawang sudah disulap menjadi salah satu produk kapitalisme paling meroket. Jumlah pabrik sepertinya jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah universitas. Bagi masyarakat setempat, bisa membongkar-pasang mesin akan lebih berguna daripada harus merenung mencari inspirasi untuk menemukan diksi bagi puisi.
Saat terjadi sengketa lahan pertanian dengan salah satu perusahaan properti di Teluk Jambe, misalnya. Tak ada orasi-orasi yang menyuarakan keadilan atas penindasan kaum melarat. Masyarakat lebih senang berdemo dengan membawa arit dan cangkul, walaupun dua alat itu pada akhirnya kalah tajam saat berhadapan dengan barisan aparat yang katanya sedang menjaga keamanan.
Dekadensi nilai-nilai ini, tentu disebabkan dari berbagai hal. Salah satunya, kemunduran minat belajar siswa-siswa di sekolah terhadap pelajaran bahasa Indonesia. Terutama pada materi kesusastraan. Keadaan ini merupakan efek domino dari tidak menariknya sajian pengajaran sastra di sekolah, khususnya di daerah industri ini.
Pengajaran sastra masih terkonsentrasi pada metode ceramah dan tekstual. Semestinya cara kuno itu harus segera ditinggalkan. Mengingat majunya dinamika teknologi di kota ini. Pengajaran sastra di Karawang juga perlu disampaikan dengan metode mutakhir. Misalnya, penerapan pembelajaran audio-visual. Dengan demikian, akan sangat membantu dalam mengemas materi ajar menjadi lebih menarik dan tidak membosankan.
Ketika siswa sudah merasa bosan belajar sastra, jangan pernah berharap bias membangun kesadaran akan pentingnya memahami makna puisi atau prosa. Sementara untuk sekadar mendengar pun tidak.
Selain itu, jumlah jam pelajaran bahasa Indonesia di sekolah haruslah disejajarkan dengan jumlah jam pelajaran lain yang biasanya diunggulkan, seperti matematika atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Hal tersebut harus segera diupayakan mengingat mulai bergesernya kecenderungan anak-anak dari buku ke gawai.
Arus kemajuan teknologi memang tak mudah dihentikan. Naman jangan berdiam diri membiarkan generasi saat ini tak mengenal sastra. Waktu paling tepat untuk mulai menanggulangi masalah tersebut adalah hari ini. Jangan sampai Karawang yang begitu terkenal intim bersama Chairil, justru tumbuh menjadi satu kota tempat berkembang biaknya kapitalisasi industri, sekaligus menjadi kuburan bagi kesusastraan yang sudah terdegradasi.
WS Restu, Aktor dan Pendidik